RLI
Thursday, November 13, 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
No Result
View All Result
RLI
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Praktik Kepemimpinan yang Mendorong Guru Lebih Profesional

Seri-8

Admin by Admin
November 3, 2025
in Uncategorized
0 0
0
0
SHARES
6
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Direktur Research and Literacy Institute (RLI)
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

Saya pernah duduk di ruang guru sebuah Madrasah Aliyah di pinggiran Kaupaten Sukabumi. Udara siang itu panas, kipas angin berputar lambat, dan di meja tengah ada termos air serta beberapa cangkir teh manis. Seorang guru perempuan dengan jilbab abu-abu baru saja selesai mengajar dan duduk di kursinya, tampak letih tapi masih sempat tersenyum. “Tadi anak-anak susah fokus,” katanya pada rekan di sebelahnya. “Tapi saya tidak mau menyerah, saya ubah pendekatan. Lumayan berhasil.”

Saya memperhatikan cara ia bercerita. Bukan hanya isi kalimatnya, tapi semangatnya. Ia tidak sekadar guru yang mengajar demi memenuhi jam wajib. Ia tampak menikmati prosesnya. Saat kepala sekolah masuk, guru itu langsung berdiri dan melaporkan rencana pembelajarannya minggu depan. Kepala sekolah tidak menegur atau mengoreksi. Ia hanya berkata, “Coba tambahkan kegiatan refleksi di akhir kelas. Biar anak-anak bisa bicara tentang apa yang mereka rasakan.”

Adegan sederhana itu selalu saya ingat. Ada hubungan yang sehat antara pemimpin dan guru. Tidak penuh tekanan, tapi juga tidak longgar. Kepala sekolah memberi ruang sekaligus arah. Guru merasa dihargai dan terpacu untuk berkembang. Dari sanalah profesionalisme tumbuh. Bukan dari perintah, melainkan dari kepercayaan dan teladan.

Kita sering bicara tentang profesionalisme guru di lembaga pendidikan Islam, tapi jarang bertanya: siapa yang menciptakan ekosistemnya? Profesionalisme tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari kepemimpinan yang mendukung, menumbuhkan, dan mengarahkan. Dalam konteks pendidikan Islam, kepemimpinan itu bukan hanya soal manajemen, tapi juga soal keteladanan dan nilai. Kepala sekolah adalah figur moral, organisator, dan pembimbing spiritual sekaligus.

Banyak guru sebenarnya punya potensi besar. Mereka bersemangat, punya niat baik, dan ingin terus belajar. Tapi kadang semangat itu padam karena iklim kerja yang tidak sehat. Misalnya, kepala sekolah terlalu otoriter, tidak mendengar aspirasi guru, atau malah sibuk dengan urusan administratif. Akibatnya, guru bekerja dalam ketakutan dan formalitas. Mereka mengajar hanya karena kewajiban, bukan karena panggilan jiwa.

Saya pernah bertemu seorang guru senior yang mengatakan dengan nada getir, “Dulu saya suka sekali mengajar. Tapi sekarang, rasanya seperti mengejar laporan, bukan mengejar pembelajaran.” Kalimat itu menampar saya. Ia mengingatkan bahwa sistem yang terlalu birokratis bisa membunuh semangat profesionalisme. Di sinilah kepemimpinan menjadi kunci. Kepala sekolah harus mampu menyeimbangkan antara tuntutan sistem dan kebutuhan manusia.

Dalam teori manajemen modern, kepemimpinan yang efektif selalu berangkat dari kepercayaan dan visi bersama. Namun dalam pendidikan Islam, dimensi moral dan spiritual memperdalamnya. Kepemimpinan bukan sekadar mengatur, tapi juga menuntun hati. Nabi Muhammad SAW menjadi contoh utama. Beliau tidak hanya memimpin dengan perintah, tetapi juga dengan kasih sayang dan keteladanan.

Kepala sekolah yang meneladani prinsip itu akan lebih mudah mendorong guru untuk berkembang. Ia tidak menuntut profesionalisme dengan ancaman, tapi dengan inspirasi. Ia menanamkan rasa bahwa menjadi guru adalah amanah, dan amanah itu harus dijaga dengan ilmu, ketekunan, dan integritas.

Dalam lembaga pendidikan Islam, kepemimpinan semacam ini menciptakan budaya belajar yang hidup. Kepala sekolah tidak segan turun ke kelas, bukan untuk menilai, tapi untuk belajar bersama. Ia mendengar cerita guru, menanyakan kendala, dan membantu mencari solusi. Ia membuka ruang dialog rutin, di mana guru bisa berbagi pengalaman, bahkan kegagalan. Di situ kepercayaan tumbuh. Guru merasa aman untuk berinovasi.

Profesionalisme tidak lahir dari rasa takut, tapi dari rasa aman dan makna. Ketika guru merasa dihargai, mereka akan berusaha lebih keras. Ketika mereka tahu pemimpinnya jujur dan terbuka, mereka akan meniru sikap itu di kelas.

Saya percaya, ada tiga praktik kepemimpinan yang paling berpengaruh dalam membentuk guru profesional di sekolah Islam.

Pertama, kepemimpinan yang membimbing, bukan menggurui.
Banyak kepala sekolah datang dari latar belakang guru, tapi setelah menjadi pemimpin, kadang lupa bagaimana rasanya menjadi guru biasa. Padahal, guru tidak butuh ceramah panjang tentang profesionalisme. Mereka butuh bimbingan konkret. Kepala sekolah bisa menunjukkan cara membuat rencana pembelajaran yang efektif, memberi contoh umpan balik yang membangun, atau mendampingi saat guru mencoba metode baru.

Saya pernah melihat kepala madrasah yang setiap pekan duduk bersama tiga guru untuk meninjau hasil belajar murid. Ia tidak menilai, hanya bertanya, “Apa yang membuat anak-anak belum paham? Apa yang bisa kita ubah minggu depan?” Suasana diskusinya santai tapi fokus. Guru merasa dilibatkan. Dari pertemuan kecil itu lahir ide-ide baru. Bimbingan seperti ini lebih berdampak daripada sekadar surat edaran.

Kedua, kepemimpinan yang menghargai proses, bukan hanya hasil.
Dalam dunia pendidikan, tidak semua keberhasilan bisa diukur dengan angka. Kadang ada guru yang tidak menghasilkan nilai tinggi, tapi berhasil membangkitkan semangat belajar siswa. Ada guru yang kelasnya sederhana tapi siswanya sopan, jujur, dan percaya diri. Kepala sekolah yang bijak tidak hanya menghargai guru berdasarkan hasil ujian, tapi juga pada dedikasi dan perkembangan murid secara menyeluruh.

Saya mengenal kepala sekolah yang selalu menulis catatan kecil setiap akhir bulan: bukan tentang nilai, tapi tentang perilaku guru. “Bu Rini mendampingi murid yang kesulitan membaca dengan sabar,” tulisnya. “Pak Andri mencoba pendekatan baru dalam mengajar fiqih.” Catatan kecil ini ia bagikan saat rapat, disertai ucapan terima kasih. Tampak sepele, tapi efeknya besar. Guru merasa dilihat.

Ketiga, kepemimpinan yang memberi ruang untuk tumbuh.
Guru profesional lahir dari kesempatan untuk belajar. Kepala sekolah harus menjadi fasilitator pengembangan diri. Ia bisa mendorong guru ikut pelatihan, membuka kelompok belajar, atau memberi waktu untuk refleksi. Di beberapa madrasah progresif, kepala sekolah bahkan menetapkan satu jam per minggu untuk “belajar guru”. Waktu itu digunakan untuk membaca, berdiskusi, atau menulis refleksi pembelajaran. Tidak ada laporan, tidak ada target, hanya ruang untuk berkembang.

Guru yang diberi ruang tumbuh akan jauh lebih kreatif. Ia merasa dipercaya, bukan diawasi. Dan ketika guru belajar, murid pun ikut belajar.

Kepemimpinan semacam ini sejalan dengan nilai-nilai Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan keempat tentang pendidikan berkualitas. SDGs tidak hanya berbicara tentang akses pendidikan, tapi juga tentang mutu, relevansi, dan kesejahteraan tenaga pendidik. Kepala sekolah yang menerapkan prinsip SDGs berarti memastikan guru memiliki kondisi kerja yang manusiawi, kesempatan untuk berkembang, dan lingkungan yang mendukung keseimbangan hidup.

Saya sering berpikir, jika setiap kepala sekolah di lembaga pendidikan Islam memahami hal ini, betapa besarnya perubahan yang bisa terjadi. Guru tidak lagi merasa sendirian. Mereka akan bekerja bukan karena terpaksa, tapi karena percaya bahwa pekerjaannya punya arti besar.

Namun tentu saja, praktik kepemimpinan semacam ini tidak mudah. Dibutuhkan kesabaran dan keberanian untuk meninggalkan pola lama. Ada kepala sekolah yang sudah terbiasa memimpin dengan gaya komando. Ada pula yang terjebak dalam rutinitas administratif. Padahal, kepemimpinan yang efektif justru dimulai dari kehadiran dan empati.

Saya pernah berbincang dengan seorang kepala madrasah muda di Yogyakarta. Ia mengaku awalnya gugup memimpin guru-guru senior. Tapi kemudian ia memutuskan untuk “hadir” lebih sering. Ia datang ke ruang guru setiap pagi, sekadar menyapa dan mendengar. Lama-lama, hubungan menjadi cair. Guru lebih terbuka bercerita tentang masalah kelas. Dari situ, ia bisa membantu mencari solusi nyata. Ia berkata, “Ternyata kepemimpinan bukan tentang tahu semua jawaban, tapi tentang mau mendengar.”

Kalimat itu sederhana, tapi benar. Banyak masalah di sekolah bisa diselesaikan hanya dengan kehadiran yang tulus. Kepemimpinan dalam pendidikan Islam tidak butuh kemewahan, tapi ketulusan hati.

Di sisi lain, guru juga perlu menyadari bahwa profesionalisme adalah bagian dari ibadah. Bekerja dengan sungguh-sungguh, menyiapkan pelajaran dengan baik, dan memperlakukan siswa dengan adil adalah wujud dari amanah. Kepala sekolah yang bijak akan menanamkan kesadaran ini, bukan dengan perintah, tapi lewat teladan.

Saya pernah melihat kepala sekolah yang datang paling pagi, memastikan kebersihan kelas, menyapa satpam, lalu menyapa guru satu per satu. Ia tidak bicara banyak soal disiplin, tapi semua orang jadi lebih disiplin. Tidak ada teguran keras, tapi semua merasa malu kalau datang terlambat. Dari sikap sederhana itulah profesionalisme guru tumbuh.

Kepemimpinan yang sejati tidak menciptakan ketakutan, tapi menumbuhkan kesadaran. Ia membuat orang ingin bekerja lebih baik bukan karena disuruh, tapi karena merasa terpanggil.

Pendidikan Islam hari ini butuh pemimpin yang tidak hanya pandai mengelola, tapi juga mampu menggerakkan. Kepala sekolah perlu melihat guru bukan sebagai bawahan, tapi sebagai rekan perjuangan. Ia perlu menciptakan budaya sekolah yang menghargai belajar, kolaborasi, dan kejujuran.

Jika setiap kepala sekolah berani menjadi pelayan bagi gurunya, dan setiap guru berani menjadi pelajar seumur hidup, maka profesionalisme tidak lagi menjadi slogan. Ia akan menjadi napas sehari-hari lembaga pendidikan Islam.

Dan mungkin, pada akhirnya, keberhasilan sebuah sekolah tidak diukur dari megahnya bangunan atau jumlah prestasi. Tapi dari satu hal yang sederhana: apakah guru-gurunya bahagia saat mengajar. Karena guru yang bahagia akan melahirkan murid yang bersemangat. Dan di situlah mutu, iman, dan kemanusiaan bertemu.

Previous Post

Membangun Lembaga Pendidikan Islam yang Fokus pada Hasil Belajar

Next Post

Cara Pemimpin Lembaga Pendidikan Islam Mengelola Monitoring dan Evaluasi yang Efektif

Next Post

Cara Pemimpin Lembaga Pendidikan Islam Mengelola Monitoring dan Evaluasi yang Efektif

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Mewujudkan Madrasah ramah anak untuk semua
  • Menjaga benteng terakhir penjaga moral anak bangsa
  • Ambisi politik aktivis muda dan realitas menuju kekuasaan: What should you do?
  • Dua Guru, Sepuluh Bulan Tanpa Gaji, dan Rasa Keadilan yang Hilang 
  • Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Recent Comments

No comments to show.
RLI

© 2024 RLI

Navigate Site

  • Home Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO

© 2024 RLI