RLI
Thursday, November 13, 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
No Result
View All Result
RLI
No Result
View All Result
Home artikel

Cara Pemimpin Lembaga Pendidikan Islam Mengelola Monitoring dan Evaluasi yang Efektif

Seri-9

Admin by Admin
November 3, 2025
in artikel
0 0
0
0
SHARES
8
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

 

 

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Direktur Research and Literacy Institute (RLI)
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

Saya pernah hadir di sebuah rapat mingguan di salah satu madrasah swasta kecil di Sukabumi. Saat itu saya hadir sebagai Narasumber kegiatan. Ruangannya sederhana, kipas angin berdecit pelan, dan di meja kayu panjang, para guru duduk berderet sambil membuka catatan. Di ujung meja, kepala sekolah memimpin rapat dengan senyum sabar. Ia tidak memulai dengan laporan, melainkan dengan satu pertanyaan: “Apa yang paling membuat kalian bangga minggu ini?”

Satu per satu guru menjawab. Ada yang bercerita tentang siswa yang akhirnya bisa membaca Al-Qur’an dengan lancar. Ada yang bangga karena kelasnya berhasil menyusun majalah dinding. Lalu kepala sekolah itu mencatat dengan teliti. Setelah semua berbicara, barulah ia membuka lembaran laporan monitoring pembelajaran. Tidak ada nada menghakimi, tidak ada suara meninggi. Hanya dialog, dan dari situ, saya melihat bagaimana proses evaluasi bisa menjadi proses pembelajaran bersama, bukan sekadar pemeriksaan.

Momen itu menancap kuat di ingatan saya. Karena di banyak lembaga pendidikan, kata “monitoring dan evaluasi” sering identik dengan pemeriksaan, teguran, atau bahkan rasa takut. Padahal dalam manajemen pendidikan Islam, monitoring dan evaluasi seharusnya menjadi ruang refleksi yang menghidupkan semangat perubahan.

Banyak pemimpin lembaga pendidikan Islam masih memandang Monev (monitoring dan evaluasi) sebagai tugas administratif. Mereka memeriksa kehadiran, menandatangani laporan, dan mengisi formulir, tapi jarang menanyakan makna di balik data itu. Akibatnya, evaluasi menjadi rutinitas yang kehilangan ruh. Padahal, sebagaimana diingatkan Peter Drucker, “Apa yang tidak diukur tidak bisa diperbaiki.” Tetapi ukuran dalam pendidikan tidak hanya angka. Ia juga harus menyentuh aspek moral, spiritual, dan kemanusiaan.

Dalam konteks pendidikan Islam, monitoring dan evaluasi bukan sekadar mengontrol, tetapi menumbuhkan. Tujuannya bukan untuk mencari kesalahan, melainkan menemukan peluang perbaikan. Kepala sekolah atau pemimpin lembaga pendidikan Islam harus mampu menempatkan evaluasi sebagai cermin bersama, bukan cambuk. Karena yang sedang diukur bukan hanya kinerja, tapi juga keikhlasan dan proses belajar.

Saya sering melihat dua tipe pemimpin dalam hal ini. Pertama, tipe pengawas. Ia memantau semua hal dengan ketat, menuntut laporan detail, dan merasa puas bila menemukan kesalahan. Kedua, tipe pembimbing. Ia tetap memantau, tetapi tujuannya untuk membantu. Ia melihat kesalahan sebagai bahan belajar, bukan bahan hukuman. Sekolah dengan tipe kedua biasanya lebih tenang, guru lebih terbuka, dan mutu meningkat perlahan tapi pasti.

Kepemimpinan yang efektif dalam Monev tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai spiritual Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Falyandzuril-insānu ilā ṭa‘āmih”,  hendaklah manusia memperhatikan apa yang dimakannya (QS. Abasa: 24). Ayat ini tidak hanya bicara tentang makanan fisik, tapi juga tentang introspeksi. Evaluasi dalam Islam sejatinya adalah muhasabah. Pemimpin yang mampu mengelola Monev dengan efektif berarti telah menanamkan budaya muhasabah di lembaganya.

Seorang pemimpin lembaga pendidikan Islam perlu menyadari bahwa monitoring dan evaluasi bukan pekerjaan satu arah. Ia harus menjadi dialog dua arah yang jujur antara pemimpin dan tim. Sebab manusia bekerja bukan seperti mesin. Mereka butuh dihargai, didengarkan, dan diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.

Saya pernah bertanya kepada seorang kepala madrasah berpengalaman di Bandung tentang caranya melakukan evaluasi guru. Ia menjawab, “Saya tidak pernah langsung menegur di depan umum. Saya panggil pribadi, ajak ngobrol dulu tentang keseharian. Dari situ saya tahu penyebabnya.” Ia menambahkan, “Kadang bukan karena guru malas, tapi karena kelelahan atau masalah pribadi. Kalau saya tahu akarnya, baru saya bantu.”

Kata “bantu” itu penting. Karena pada dasarnya, monitoring dan evaluasi dalam lembaga pendidikan Islam adalah bentuk kasih sayang yang terstruktur. Bukan mencari kambing hitam, tetapi menguatkan sistem agar lebih baik.

Namun tentu, kasih sayang tanpa ketegasan bisa membuat sistem lemah. Di sinilah seni kepemimpinan diuji. Kepala sekolah harus mampu menjaga keseimbangan antara empati dan ketegasan, antara kebijaksanaan dan akuntabilitas. Monitoring yang baik tidak boleh berubah menjadi kelonggaran yang tidak terkendali.

Untuk itu, pemimpin perlu memegang prinsip yang jelas. Misalnya, setiap guru wajib menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan refleksi, dan mengikuti evaluasi diri. Tapi dalam pelaksanaannya, kepala sekolah bisa memberi ruang fleksibilitas. Ia bisa mengajak guru menganalisis hasil belajar bersama, membandingkan data tahun lalu, dan merancang perbaikan. Pendekatan ini lebih efektif daripada sekadar menilai dokumen.

Salah satu praktik menarik saya temukan di sebuah pesantren di Yogyakarta. Setiap tiga bulan, mereka mengadakan “Forum Muhasabah Pendidikan.” Semua guru, kepala asrama, dan pengelola duduk bersama. Tidak ada panggung, semua duduk melingkar. Masing-masing berbicara tentang keberhasilan dan kekurangan tiga bulan terakhir. Lalu disusun rencana aksi perbaikan. Proses ini berlangsung dengan penuh keakraban, tapi tetap sistematis. Saya melihat bagaimana nilai-nilai Islam diterjemahkan menjadi praktik manajerial yang hidup.

Monitoring dan evaluasi yang efektif juga menuntut data yang jujur. Banyak sekolah gagal melakukan evaluasi karena datanya tidak valid. Guru membuat laporan seadanya, siswa mengisi kuesioner tanpa refleksi, kepala sekolah menerima hasil apa adanya. Padahal, tanpa data yang jujur, semua perbaikan hanya akan jadi ilusi.

Dalam Islam, kejujuran adalah fondasi segala amal. Rasulullah SAW bersabda, “Kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks manajemen pendidikan, kejujuran berarti berani menghadapi kenyataan. Pemimpin yang baik tidak takut menemukan kekurangan, karena ia tahu bahwa dari situlah perbaikan dimulai.

Saya pernah menghadiri rapat evaluasi di mana kepala sekolah dengan jujur mengakui, “Program literasi kita belum berhasil.” Tidak ada alasan yang dibuat-buat. Ia lalu mengajak tim mencari akar masalah. Dari diskusi itu muncul ide untuk melibatkan orang tua dalam kegiatan membaca. Tahun berikutnya, hasilnya membaik. Transparansi semacam ini membuat tim merasa dihargai dan terdorong untuk berinovasi.

Kita sering lupa bahwa monitoring dan evaluasi bukan hanya soal guru dan murid. Ia juga harus mencakup kepemimpinan itu sendiri. Pemimpin yang bijak akan mengizinkan dirinya juga dievaluasi. Ia akan meminta umpan balik dari guru, staf, bahkan siswa. Ini memang tidak mudah, tapi justru di situlah letak kekuatan moralnya.

Saya mengenal seorang kepala sekolah yang setiap akhir semester mengedarkan kuesioner sederhana berjudul “Evaluasi Kepala Sekolah oleh Guru.” Isinya bukan untuk mencari pujian, tapi untuk refleksi. Ia berkata, “Saya ingin tahu, apa yang bisa saya perbaiki. Karena saya pun sedang belajar.” Sikap rendah hati seperti ini menular. Guru pun jadi lebih terbuka menerima evaluasi.

Pemimpin lembaga pendidikan Islam harus memberi contoh bahwa evaluasi bukan ancaman, tapi kebutuhan. Sebagaimana Umar bin Khattab pernah berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.” Prinsip itu berlaku juga bagi lembaga pendidikan. Setiap program, kebijakan, dan strategi harus dikaji ulang secara berkala. Karena dunia pendidikan bergerak cepat, dan yang tidak mau belajar akan tertinggal.

Dalam konteks Sustainable Development Goals (SDGs), praktik monitoring dan evaluasi yang efektif memiliki peran penting dalam mencapai Goal 4: Quality Education. SDGs menekankan bahwa pendidikan yang berkualitas harus memiliki sistem yang transparan, partisipatif, dan berorientasi pada hasil belajar. Kepala sekolah yang memahami semangat ini tidak akan menjalankan Monev hanya untuk memenuhi kewajiban, tetapi untuk memastikan keberlanjutan mutu pendidikan.

Lembaga pendidikan Islam yang menjalankan prinsip ini sesungguhnya sudah menjalankan nilai-nilai SDGs: keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan. Monitoring dilakukan bukan untuk menghukum, tapi untuk memastikan tidak ada guru atau siswa yang tertinggal. Evaluasi dilakukan bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk memastikan setiap keputusan membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat.

Tentu, semua itu tidak bisa dilakukan sekaligus. Pemimpin perlu mulai dari langkah kecil tapi konsisten. Misalnya, menetapkan jadwal refleksi rutin setiap bulan, melibatkan guru dalam menyusun indikator mutu, atau membuat laporan Monev yang sederhana tapi jujur.

Kuncinya bukan pada kerumitan sistem, tapi pada ketulusan proses. Monitoring dan evaluasi yang paling efektif bukan yang paling lengkap di atas kertas, tapi yang paling hidup di lapangan.

Dan semua itu berawal dari pemimpin. Dari caranya mendengar, berbicara, dan menilai. Dari keikhlasannya untuk mengakui kekurangan, dan keberaniannya untuk memperbaiki.

Saya sering merenung, bahwa dalam pendidikan Islam, pemimpin yang paling baik bukan yang paling pintar, tapi yang paling mau belajar. Ia tidak menganggap evaluasi sebagai beban, tetapi sebagai cara untuk terus mendekatkan diri kepada makna pendidikan itu sendiri: tazkiyah, penyucian diri dan sistem.

Seorang teman pernah berkata, “Kalau pemimpin lembaga Islam mau memandang Monev sebagai ibadah, bukan sekadar administrasi, maka sekolah akan berubah menjadi tempat yang tumbuh, bukan sekadar berjalan.” Saya pikir ia benar.

Monitoring dan evaluasi yang efektif bukanlah tentang tabel, angka, atau laporan. Tapi tentang kesediaan untuk melihat diri sendiri dengan jujur, menata niat, dan memperbaiki langkah bersama. Karena pada akhirnya, mutu pendidikan tidak diukur dari dokumen yang rapi, tapi dari hati yang mau belajar.

Dan di situlah, peran seorang pemimpin pendidikan Islam menemukan makna sejatinya,  bukan sebagai pengendali, tetapi sebagai penuntun jalan menuju perbaikan yang terus menerus.

Previous Post

Praktik Kepemimpinan yang Mendorong Guru Lebih Profesional

Next Post

Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Next Post

Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Mewujudkan Madrasah ramah anak untuk semua
  • Menjaga benteng terakhir penjaga moral anak bangsa
  • Ambisi politik aktivis muda dan realitas menuju kekuasaan: What should you do?
  • Dua Guru, Sepuluh Bulan Tanpa Gaji, dan Rasa Keadilan yang Hilang 
  • Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Recent Comments

No comments to show.
RLI

© 2024 RLI

Navigate Site

  • Home Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO

© 2024 RLI