RLI
Thursday, November 13, 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
No Result
View All Result
RLI
No Result
View All Result
Home artikel

Membangun Lembaga Pendidikan Islam yang Fokus pada Hasil Belajar

Seri-7

Admin by Admin
November 3, 2025
in artikel
0 0
0
0
SHARES
8
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Direktur Research and Literacy Institute (RLI)
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

Ada satu hal yang sering membuat saya berpikir ulang tentang arah pendidikan kita: mengapa banyak sekolah Islam begitu sibuk dengan kegiatan, tapi belum tentu menghasilkan pembelajaran yang bermakna? Setiap minggu ada lomba, seminar, pelatihan, dan agenda seremonial yang padat. Tapi kalau kita tanya pada murid, “apa yang kamu pelajari hari ini?” jawabannya sering kabur.

Bukan karena mereka tidak belajar, tapi karena fokusnya sering bergeser. Sekolah Islam kadang terlalu sibuk membangun citra religius lewat atribut dan simbol, tapi lupa memastikan bahwa proses belajar benar-benar menyentuh pikiran dan hati siswa. Padahal, inti pendidikan adalah pembelajaran yang mengubah cara berpikir dan cara hidup seseorang.

Saya percaya, lembaga pendidikan Islam yang baik bukan hanya mengajarkan pelajaran agama dan umum, tetapi juga memastikan setiap murid mengalami pertumbuhan nyata. Pertumbuhan dalam pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Di sinilah pentingnya fokus pada hasil belajar, bukan sekadar pada kegiatan belajar.

Hasil belajar yang dimaksud tentu bukan hanya nilai ujian atau raport. Lebih dari itu, hasil belajar adalah kemampuan murid untuk memahami, menganalisis, dan menerapkan ilmu dalam kehidupan nyata. Misalnya, bagaimana mereka mengambil keputusan dengan bijak, bagaimana mereka memecahkan masalah, dan bagaimana mereka menampilkan akhlak dalam situasi yang sulit.

Saya teringat seorang guru matematika di sebuah madrasah di Cianjur. Ia bercerita bahwa setiap kali mengajar, ia memulai kelas dengan doa dan kisah kecil yang menghubungkan pelajaran hari itu dengan nilai-nilai Islam. Suatu kali, ia mengaitkan konsep “bilangan tak hingga” dengan keagungan Allah yang tiada batas. Murid-muridnya tidak hanya belajar logika matematika, tetapi juga belajar tentang keterbatasan manusia di hadapan Tuhan. Bagi saya, itu contoh hasil belajar yang utuh. Ilmu dan iman saling menumbuhkan.

Masalahnya, sistem pendidikan kita masih terlalu berorientasi pada administrasi. Guru diminta membuat banyak laporan, mengisi dokumen, menulis rencana pelaksanaan pembelajaran dengan format panjang. Semua terlihat rapi di atas kertas, tapi belum tentu hidup di kelas. Padahal, kualitas pembelajaran sejati terletak pada interaksi antara guru dan murid.

Lembaga pendidikan Islam perlu berani mengubah cara pandangnya. Fokusnya bukan lagi sekadar “berapa banyak program yang dijalankan”, tetapi “apa dampaknya terhadap perkembangan siswa”. Kepala sekolah, pengawas, dan yayasan perlu menilai keberhasilan sekolah dari kemajuan belajar anak-anak, bukan dari tebalnya laporan kegiatan.

Kita bisa belajar dari konsep outcome-based education (OBE), yang menekankan pada hasil akhir pembelajaran. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan amal sebagai buah dari ilmu. Al-ilmu bila ‘amalin kasy-syajari bila tsamarin, artinya ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Pendidikan Islam harus memastikan bahwa ilmu yang diajarkan berbuah nyata dalam perilaku dan kontribusi sosial murid.

Saya pernah mengamati dua sekolah Islam dengan pendekatan berbeda. Yang satu sibuk menambah kegiatan: hafalan, lomba, dan agenda ekstrakurikuler. Yang lain justru lebih sederhana tapi disiplin mengukur hasil belajar. Setiap guru di sana diminta membuat refleksi mingguan: apa yang siswa pahami minggu ini, bagian mana yang sulit, dan apa strategi berikutnya. Hasilnya menarik. Sekolah kedua punya atmosfer yang lebih tenang, guru lebih fokus, dan siswa lebih mandiri. Tidak ada kejar target berlebihan, tapi pembelajaran terasa hidup.

Fokus pada hasil belajar juga berarti memberi ruang bagi siswa untuk bertanya dan bereksperimen. Di banyak sekolah Islam, budaya bertanya masih dianggap kurang sopan. Murid lebih sering diminta mendengar dan mencatat daripada berdiskusi. Padahal, Nabi sendiri sering menggunakan dialog dalam mengajar. Ia membiarkan sahabat berpikir, bahkan menegur dengan lembut bila pemahamannya keliru.

Lembaga pendidikan Islam perlu membangun budaya kelas yang partisipatif. Guru bukan satu-satunya sumber kebenaran, tetapi fasilitator yang menuntun proses berpikir. Dari sinilah lahir siswa yang kritis namun tetap santun, berani berbeda namun tetap beradab.

Kepala sekolah punya peran besar di sini. Ia harus menjadi penggerak budaya belajar, bukan hanya pengatur administrasi. Kepala sekolah yang baik mendorong guru untuk terus bereksperimen, memberi ruang untuk mencoba metode baru, dan tidak takut gagal. Ia juga menanamkan pemahaman bahwa mutu pembelajaran tidak akan tumbuh dari ketakutan, melainkan dari rasa ingin tahu.

Saya pernah bertanya pada seorang kepala madrasah senior di Bandung, apa tantangan terbesar dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Ia menjawab singkat, “Mengubah cara pandang guru.” Banyak guru, katanya, masih menganggap tugas utamanya adalah mengajar, bukan memastikan murid belajar. Padahal, dua hal itu tidak selalu sama.

Guru bisa mengajar delapan jam sehari tanpa henti, tapi belum tentu siswa belajar dengan sungguh-sungguh. Perubahan paradigma ini butuh kepemimpinan yang sabar dan konsisten. Kepala sekolah harus terus menanamkan nilai bahwa hasil belajar adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar urusan guru di kelas.

Dalam konteks pendidikan Islam, fokus pada hasil belajar juga sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama pada poin keempat tentang pendidikan berkualitas. Sekolah Islam seharusnya menjadi pelopor pendidikan yang inklusif, adil, dan berorientasi pada kompetensi nyata. Tidak cukup hanya mencetak lulusan saleh secara ritual, tetapi juga produktif, solutif, dan peduli pada lingkungan sosialnya.

Bayangkan jika setiap sekolah Islam mampu menghasilkan siswa yang tidak hanya pandai membaca Al-Qur’an, tapi juga bisa membaca realitas sosial. Siswa yang tidak hanya hafal hadis, tapi juga mampu menafsirkan maknanya dalam kehidupan modern. Siswa yang tidak hanya disiplin beribadah, tapi juga aktif memperbaiki lingkungan dan membantu sesama. Itulah hasil belajar yang sesungguhnya.

Tentu, membangun sistem seperti ini tidak mudah. Diperlukan perubahan pola pikir dari semua pihak. Yayasan harus mendukung guru dengan pelatihan yang relevan, bukan hanya menuntut hasil cepat. Kepala sekolah harus menjadi teladan dalam refleksi dan pembelajaran berkelanjutan. Guru harus mau mengevaluasi diri, terbuka pada masukan, dan mengembangkan metode yang lebih kontekstual.

Sekolah Islam juga perlu berani menata ulang indikator keberhasilannya. Jangan hanya menghitung jumlah kegiatan atau nilai rata-rata ujian. Ukur bagaimana siswa tumbuh dalam pemahaman, kemampuan berpikir kritis, dan tanggung jawab sosial. Lihat apakah mereka mampu bekerja sama, menghargai perbedaan, dan menyelesaikan masalah dengan cara yang etis.

Saya yakin, jika lembaga pendidikan Islam sungguh-sungguh menempatkan hasil belajar di pusat perhatiannya, kita akan melihat perubahan besar. Guru akan lebih fokus pada proses, siswa akan lebih aktif, dan kepala sekolah akan menjadi pemimpin yang inspiratif, bukan sekadar administratif.

Saya sering membayangkan sebuah madrasah yang sederhana tapi hidup. Di sana, guru dan murid belajar bersama dengan semangat. Tidak ada ketakutan berlebihan pada ujian, karena yang lebih penting adalah pemahaman. Tidak ada tekanan berlebihan pada ranking, karena yang dihargai adalah kemajuan pribadi. Semua orang merasa bagian dari perjalanan belajar, bukan hanya pelaksana sistem.

Itu mungkin terdengar ideal, tapi bukan mustahil. Karena pendidikan Islam sejati bukan tentang kemegahan lembaga, tapi tentang keikhlasan niat dan kesungguhan usaha. Kalau kita memulai dengan niat untuk membangun manusia, bukan sekadar sistem, maka hasil belajar yang bermakna akan datang dengan sendirinya.

Mutu pendidikan Islam tidak akan lahir dari banyaknya program, tapi dari kedalaman proses belajar. Dan kepala sekolah, guru, serta seluruh pengelola lembaga punya tanggung jawab moral untuk memastikan setiap anak benar-benar belajar, bukan sekadar hadir di kelas.

Hasil belajar yang sejati bukan nilai di raport, tapi perubahan dalam diri. Cara siswa berpikir, berperilaku, dan berkontribusi di masyarakat. Ketika lembaga pendidikan Islam mampu melahirkan manusia yang berilmu, beriman, dan bermanfaat, di situlah kita bisa berkata: mutu itu telah hidup, bukan sekadar tertulis.

Dan mungkin, di situlah pula pendidikan menemukan makna sejatinya.

Previous Post

Kepala Sekolah sebagai Penggerak Budaya Mutu di Lembaga Pendidikan Islam

Next Post

Praktik Kepemimpinan yang Mendorong Guru Lebih Profesional

Next Post

Praktik Kepemimpinan yang Mendorong Guru Lebih Profesional

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Mewujudkan Madrasah ramah anak untuk semua
  • Menjaga benteng terakhir penjaga moral anak bangsa
  • Ambisi politik aktivis muda dan realitas menuju kekuasaan: What should you do?
  • Dua Guru, Sepuluh Bulan Tanpa Gaji, dan Rasa Keadilan yang Hilang 
  • Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Recent Comments

No comments to show.
RLI

© 2024 RLI

Navigate Site

  • Home Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO

© 2024 RLI