Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Direktur Research and Literacy Institute (RLI)
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Kadang saya berpikir, apa yang sebenarnya membuat sebuah sekolah Islam menjadi “bermutu”? Apakah karena gedungnya megah, akreditasinya A, atau karena siswanya banyak menjuarai lomba? Tapi setelah sekian tahun terlibat di dunia pendidikan, saya belajar bahwa mutu bukan sekadar hasil yang bisa diukur dengan angka. Mutu adalah napas yang hidup dalam keseharian sekolah, dalam cara guru menyapa murid, dalam cara kepala sekolah mendengarkan, dalam kesediaan semua pihak untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Dan di titik itulah peran kepala sekolah menjadi sangat menentukan. Ia bukan sekadar pemimpin administratif yang menandatangani surat, melaporkan kegiatan, atau memastikan anggaran berjalan. Kepala sekolah yang sejati adalah penggerak budaya. Ia membangun suasana di mana setiap guru merasa berharga, setiap murid merasa diperhatikan, dan setiap kesalahan menjadi kesempatan untuk belajar.
Dalam lembaga pendidikan Islam, tanggung jawab itu bahkan lebih berat. Karena di sana, kepala sekolah bukan hanya penjaga mutu akademik, tapi juga penjaga nilai. Ia dituntut untuk menjaga keseimbangan antara iman dan ilmu, antara zikir dan pikir. Dalam konteks ini, kualitas pendidikan tidak hanya diukur dari nilai ujian, tapi juga dari akhlak, kejujuran, dan kepedulian sosial yang tumbuh dari dalam diri peserta didik.
Saya pernah bertemu seorang kepala madrasah di daerah pinggiran Sukabumi. Bangunannya sederhana, guru-gurunya kebanyakan honorer, dan fasilitasnya jauh dari ideal. Tapi setiap kali saya datang, suasananya hangat. Guru-guru tersenyum tulus, anak-anak penuh semangat, dan kepala madrasahnya selalu menyapa dengan tangan terbuka. Saat saya tanya rahasianya, ia menjawab singkat, “Kami tidak punya banyak uang, tapi kami punya rasa memiliki.” Kalimat itu menempel di kepala saya.
Rasa memiliki itulah inti dari budaya mutu. Bukan sekadar sistem manajemen, bukan pula tumpukan dokumen ISO atau laporan akreditasi. Budaya mutu hidup ketika setiap orang merasa punya tanggung jawab untuk menjaga kualitas pekerjaannya. Kepala sekolah berperan sebagai penjaga nyala semangat itu. Ia tidak memerintah dari atas, melainkan menyalakan api kecil di hati orang-orang di sekitarnya.
Kita bisa belajar dari konsep kepemimpinan dalam Islam. Nabi Muhammad SAW memberi teladan bahwa pemimpin sejati adalah yang melayani. Sayyidul qaum khadimuhum – pemimpin umat adalah pelayan mereka. Kepala sekolah yang memahami makna itu tidak akan sibuk mengejar citra, tetapi fokus membangun karakter dan semangat tim. Ia hadir di tengah-tengah guru, mendengarkan keluh kesah, memberi dorongan, bahkan ikut mengajar bila perlu. Kepemimpinan semacam ini melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan adalah pondasi utama budaya mutu.
Sayangnya, di banyak sekolah kita, mutu masih dipahami sebagai urusan formalitas. Sekolah sibuk menyiapkan borang akreditasi, mengatur administrasi, dan mengejar sertifikasi, sementara aspek ruhiyah, etika kerja, dan hubungan antarmanusia sering terpinggirkan. Padahal, tanpa dimensi spiritual dan emosional, mutu hanya menjadi kulit luar yang rapuh.
Kepala sekolah dalam lembaga pendidikan Islam seharusnya menjadi teladan integrasi nilai dan sistem. Ia mampu menerjemahkan prinsip manajemen modern ke dalam bahasa nilai-nilai Islam. Misalnya, konsep continuous improvement atau perbaikan berkelanjutan bisa disinergikan dengan semangat islah dan mujahadah – perjuangan untuk terus memperbaiki diri. Prinsip accountability atau akuntabilitas sejalan dengan konsep amanah. Ketika nilai dan sistem berjalan seiring, budaya mutu tidak lagi dipaksakan, melainkan tumbuh alami dari kesadaran kolektif.
Dalam kerangka yang lebih luas, peran kepala sekolah juga terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan keempat SDGs menekankan pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan berkeadilan. Sekolah Islam memiliki tanggung jawab besar untuk ikut mewujudkannya, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh masyarakat. Kepala sekolah menjadi jembatan antara idealisme agama dan realitas pembangunan global. Ia memastikan bahwa nilai-nilai Islam tidak hanya diajarkan, tetapi juga memberi solusi bagi tantangan zaman: kemiskinan, ketimpangan, dan kerusakan lingkungan.
Saya teringat satu momen kecil di sebuah rapat sekolah. Seorang guru muda berkata, “Pak, bagaimana kita bisa bicara mutu kalau gaji saja sering terlambat?” Semua terdiam. Kepala sekolah waktu itu tidak marah, ia hanya tersenyum dan berkata pelan, “Kamu benar. Tapi mutu tidak menunggu kondisi ideal. Mutu dimulai dari kesadaran bahwa kita tetap bisa bekerja sebaik mungkin meski belum sempurna.” Kalimat itu sederhana tapi dalam. Ia mengingatkan kita bahwa budaya mutu adalah soal sikap, bukan situasi.
Dalam perjalanan saya melihat banyak kepala sekolah yang jatuh pada dua ekstrem. Ada yang terlalu birokratis, sibuk dengan laporan, lupa berinteraksi dengan guru. Ada juga yang terlalu karismatik, berapi-api berbicara tentang visi, tapi tidak membangun sistem yang nyata. Padahal, kepemimpinan efektif justru terletak pada keseimbangan antara sistem dan empati. Kepala sekolah perlu mengelola data dan evaluasi, tapi juga harus bisa membaca suasana hati guru dan siswa.
Budaya mutu tidak lahir dari perintah, tapi dari keteladanan. Guru akan bekerja dengan sungguh-sungguh bukan karena takut diawasi, tapi karena mereka melihat kepala sekolahnya pun bekerja keras. Siswa akan belajar dengan disiplin bukan karena diancam hukuman, tapi karena mereka merasakan semangat belajar dari para gurunya. Semua dimulai dari satu hal: konsistensi teladan.
Saya pernah berbincang dengan seorang kepala sekolah perempuan di Bandung. Ia bercerita bagaimana setiap pagi ia menyapa satu per satu guru dan murid di gerbang. Kadang ia membawa termos teh, menuangkan untuk guru yang datang pagi. “Ini hal kecil,” katanya, “tapi dari sini muncul rasa kebersamaan.” Dari kebersamaan lahir kepercayaan, dari kepercayaan lahir semangat, dan dari semangat lahirlah mutu.
Kepemimpinan seperti ini sulit diukur dengan angka. Tapi dampaknya terasa. Sekolah yang dulu lesu kini ramai kegiatan. Guru-guru lebih kreatif, siswa lebih berani berbicara, dan orang tua mulai terlibat. Semua itu tidak datang dari program besar, tapi dari energi positif yang terus dipelihara.
Pendidikan Islam seharusnya melahirkan manusia yang utuh. Bukan hanya cerdas secara akademik, tapi juga berakhlak, peduli, dan sadar akan tanggung jawab sosialnya. Untuk itu, kepala sekolah perlu berani menafsir ulang makna “mutu” dalam konteks keislaman. Mutu bukan hanya soal hasil belajar, tetapi tentang bagaimana proses pendidikan menumbuhkan kesadaran spiritual, empati sosial, dan kecintaan pada ilmu.
Kita tidak bisa bicara mutu tanpa bicara nilai. Sebab mutu sejati tidak berdiri di atas kompetisi, melainkan kolaborasi. Kepala sekolah sebagai penggerak budaya mutu perlu menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa setiap individu punya kontribusi penting. Di sinilah nilai ukhuwah menemukan bentuknya.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, sekolah Islam berpotensi besar menjadi pelopor. Ajaran Islam tentang keseimbangan alam, keadilan sosial, dan tanggung jawab moral sejalan dengan semangat SDGs. Kepala sekolah bisa menjadi motor perubahan, mengarahkan lembaganya tidak hanya berorientasi pada output akademik, tetapi juga pada dampak sosial dan lingkungan. Misalnya, program madrasah hijau, gerakan literasi zakat dan wakaf produktif, atau pelatihan kewirausahaan berbasis etika.
Tentu, jalan menuju budaya mutu tidak selalu mulus. Ada keterbatasan dana, resistensi dari guru, atau tekanan birokrasi. Tapi di situlah peran kepala sekolah diuji. Apakah ia sekadar administrator atau benar-benar pemimpin perubahan. Kepemimpinan yang kuat bukan berarti tanpa lelah, tapi tetap berjuang meski lelah.
Mutu tidak bisa dipaksakan dengan aturan. Ia tumbuh dari ketulusan, dari semangat yang dijaga hari demi hari. Kepala sekolah yang ingin menggerakkan budaya mutu harus memulainya dari dirinya sendiri. Dari cara ia mengelola waktu, berbicara, menepati janji, dan memperlakukan orang lain.
Saya percaya, masa depan pendidikan Islam tidak akan ditentukan oleh kurikulum atau fasilitas semata, tapi oleh kualitas kepemimpinan di tingkat sekolah. Kepala sekolah yang mampu menjadi teladan, penggerak, dan penjaga nilai adalah kunci dari lahirnya generasi beriman yang cerdas, terbuka, dan peduli pada kemanusiaan.
Di akhir setiap hari, mungkin kepala sekolah yang baik tidak selalu merasa berhasil. Tapi ia tahu satu hal: setiap langkah kecil menuju kebaikan adalah bagian dari ibadah. Mungkin tidak tercatat di laporan mutu, tapi pasti tercatat di sisi Tuhan.
Dan dari situlah budaya mutu sesungguhnya lahir.