Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Direktur Research and Literacy Institute (RLI)
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Saya sering merenung saat melihat wajah siswa di madrasah. Di balik seragam yang rapi, ada mimpi yang besar. Ada juga kecemasan yang kadang tidak mereka ucapkan. Di situ saya merasa bahwa SDG 4 bukan sekadar target global. SDG 4 bicara tentang hidup anak-anak yang kita temui setiap hari di kelas. Saya merasakan sendiri bahwa cara kita mengelola lembaga pendidikan Islam sangat menentukan apakah mimpi mereka mendapat ruang tumbuh atau tidak.
Saya pernah bekerja di sebuah madrasah kecil di pinggiran kota. Jumlah siswanya tidak banyak. Fasilitasnya seadanya. Tetapi saya melihat semangat guru yang tidak kalah besar dengan guru di sekolah favorit. Mereka ingin muridnya maju. Mereka ingin muridnya punya keberanian untuk menembus batas sosial. Saat itu saya sadar bahwa kebijakan yang terukur sangat membantu guru-guru seperti mereka. Kebijakan yang jelas memberi arah. Kebijakan yang realistis memberi kekuatan untuk bergerak.
Kebijakan terukur tidak harus rumit. Kadang cukup dengan menentukan jumlah minimal jam literasi setiap pekan. Kadang cukup dengan membuat sistem pemantauan sederhana untuk siswa yang berisiko tertinggal. Saya pernah mencoba pendekatan ini. Guru melaporkan perkembangan siswa setiap dua pekan. Hasilnya membuat kami terkejut. Banyak siswa ternyata hanya butuh perhatian rutin. Banyak masalah belajar yang sebenarnya muncul karena tidak ada yang memantau secara konsisten.
Lembaga pendidikan Islam juga perlu menaruh perhatian besar pada kualitas guru. Guru adalah pusat dari pencapaian SDG 4. Guru yang punya pelatihan yang baik akan memberikan pembelajaran yang lebih bermakna. Guru yang merasa dihargai akan mengajar dengan lebih tenang. Saya pernah menyaksikan perubahan suasana kelas hanya karena guru mendapatkan pelatihan dasar tentang diferensiasi pembelajaran. Anak-anak yang selama ini diam mulai berani bertanya. Suasana kelas jadi lebih hidup.
Ada juga satu hal yang sering luput. Kualitas kebijakan tidak selalu ditentukan oleh ukuran lembaga. Lembaga besar bisa saja tidak memiliki arah yang jelas. Lembaga kecil bisa saja sangat efektif karena programnya sederhana dan terukur. Kuncinya ada pada kepemimpinan. Pemimpin madrasah yang paham SDG 4 akan menggerakkan perubahan dengan cara yang realistis. Ia tidak mengejar prestise. Ia fokus pada apa yang benar-benar dibutuhkan murid.
Saat berbincang dengan beberapa kepala madrasah, saya mendapat satu pelajaran penting. Kebijakan yang baik itu harus bisa diuji. Harus bisa diukur. Kalau tidak bisa diukur, kita tidak tahu apakah itu berhasil atau hanya terasa berhasil. Salah satu kepala madrasah bercerita bahwa ia mulai menilai kemajuan sekolahnya bukan dari lomba yang dimenangkan, tetapi dari jumlah siswa rentan yang berhasil naik kelas tanpa remedial berulang. Itu sederhana, tapi sangat terasa dampaknya bagi banyak keluarga.
Perubahan yang terukur juga bisa hadir dalam bentuk akses. Saya pernah melihat madrasah yang membuat kebijakan transportasi gratis untuk siswa yang tinggal di gang-gang sempit. Hasilnya langsung terlihat. Tingkat kehadiran naik. Siswa tidak lagi datang dengan napas terengah karena harus berjalan jauh. Mereka bisa memulai hari dengan lebih tenang.
Lembaga pendidikan Islam juga bisa mendukung SDG 4 dengan memperhatikan lingkungan belajar. Tidak selalu harus membangun gedung baru. Kadang cukup dengan memperbaiki pencahayaan kelas. Kadang cukup dengan menata ulang ruang belajar agar anak tidak saling mengganggu. Saya pernah melihat satu kelas yang awalnya bising berubah lebih fokus setelah guru memindahkan meja dan kursi sesuai pola belajar kelompok kecil. Perubahan kecil itu membuat anak lebih mudah berkonsentrasi.
Saya merasa madrasah perlu lebih berani membuat kebijakan berbasis data. Data bukan ancaman. Data membantu kita melihat kenyataan apa adanya. Di beberapa lembaga, guru sering mengandalkan intuisi. Intuisi memang penting. Tetapi SDG 4 menuntut kita bekerja dengan bukti. Kalau banyak siswa tertinggal di matematika, kita harus tahu penyebabnya. Kalau banyak siswa kesulitan membaca, kita harus paham pola kesulitannya.
Di balik semua itu, saya selalu kembali pada satu pertanyaan. Apakah kebijakan kita benar-benar membuat anak lebih mudah belajar. Apakah kebijakan kita memberi ruang yang lebih luas bagi mereka untuk berkembang. SDG 4 sebenarnya memberikan kerangka yang cukup jelas. Pendidikan inklusif. Akses adil. Kualitas pembelajaran. Keterampilan hidup. Semua itu bisa diterjemahkan dalam langkah kecil di madrasah mana pun.
Saya pernah melihat madrasah yang membuka kelas sore khusus bagi anak yang membantu orang tua bekerja di pagi hari. Mereka menyesuaikan jadwal, bukan memaksa anak menyesuaikan diri. Saya merasa itu salah satu contoh nyata bagaimana lembaga pendidikan Islam bisa memenuhi target SDG 4 dengan cara yang manusiawi. Pendidikan tidak memukul rata. Pendidikan memberi ruang sesuai situasi anak.
Ketika saya berbicara dengan orang tua, saya semakin mengerti bahwa banyak dari mereka hanya ingin madrasah memahami kondisi keluarga. Mereka tidak selalu meminta fasilitas canggih. Mereka hanya ingin madrasah membuat kebijakan yang masuk akal. Kebijakan yang tidak membebani. Kebijakan yang memberi harapan.
Saya percaya lembaga pendidikan Islam punya modal spiritual dan sosial yang kuat. Ada nilai kasih. Ada nilai amanah. Ada nilai keadilan. Nilai-nilai ini memudahkan kita menjalankan SDG 4. Tinggal bagaimana nilai ini diterjemahkan dalam kebijakan yang terukur. Kebijakan yang bisa diuji. Kebijakan yang benar-benar melibatkan guru, siswa, dan orang tua.
Satu hal yang sering saya pegang. SDG 4 bukan hanya untuk laporan tahunan. SDG 4 adalah kompas moral. Ia mengingatkan kita bahwa setiap anak punya hak untuk belajar dalam kondisi terbaik yang bisa kita sediakan. Ia mengingatkan kita bahwa tanggung jawab pendidikan tidak bisa setengah hati.
Ketika lembaga pendidikan Islam mulai menerapkan kebijakan yang terukur, perubahan itu akan terasa pelan tapi pasti. Siswa yang tadinya tertinggal mulai bisa mengejar. Guru yang tadinya kewalahan mulai punya arahan. Orang tua yang tadinya bingung mulai merasa didampingi.
Saya yakin masa depan pendidikan Islam akan lebih cerah bila kita berani mengambil langkah sederhana namun terukur. Langkah yang berpijak pada realitas di lapangan. Langkah yang membawa kita semakin dekat dengan ruh pendidikan itu sendiri. Sebab pada akhirnya, pendidikan adalah tentang manusia. Tentang anak yang percaya diri. Tentang guru yang berdaya. Tentang lembaga yang tidak hanya mengejar target, tapi memenuhi amanah dengan sepenuh hati.