Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Direktur Research and Literacy Institute (RLI)
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Saya sering terpikir tentang satu hal sederhana ketika mengunjungi beberapa madrasah. Anak-anak duduk di kelas yang sempit. Guru berusaha mengajar dengan sabar. Orang tua menunggu di depan gerbang sambil menghitung sisa uang belanja. Saya melihat wajah-wajah yang ingin maju, tapi harus menyesuaikan diri dengan biaya sekolah yang kadang terasa berat. Di titik itu saya bertanya pada diri sendiri. Untuk apa semua wacana manajemen pendidikan Islam jika madrasah masih sulit dijangkau oleh keluarga yang penghasilannya pas-pasan. Pertanyaan itu terus mengikuti saya setiap kali masuk ruang kelas yang catnya mulai pudar.
Saya pernah berbincang dengan seorang ibu yang bekerja di warung kecil. Ia bercerita tentang anaknya yang ingin lanjut ke madrasah aliyah. Biayanya tidak besar, tapi tetap saja terasa berat bagi keluarga yang harus membagi penghasilan untuk makan harian. Ia sempat menahan air mata saat bilang kalau ia takut anaknya berhenti sekolah. Saya pulang dengan pikiran yang campur aduk. Di perjalanan saya sadar bahwa akses pendidikan tidak cukup diukur dengan angka biaya. Ia diukur dengan kemampuan orang tua untuk tetap bernafas tanpa beban berlebihan. Saya merasa madrasah harus mampu menjadi ruang yang memberi harapan, bukan kekhawatiran baru.
Ketika bicara tentang kepemimpinan, saya melihat peran kepala madrasah sebagai penentu arah. Ia bukan hanya mengatur guru. Ia mengatur masa depan keluarga yang mempercayakan pendidikan anak-anak mereka. Kepala madrasah bisa memilih langkah realistis. Ia membuka ruang dialog dengan komite. Ia memetakan ulang biaya yang bisa dihemat. Ia mengajak masyarakat terlibat dalam program beasiswa. Ia mencari mitra. Ia menghubungkan madrasah dengan dunia luar. Semua langkah itu membuat madrasah bergerak lebih dekat pada tujuan SDG’s tentang pendidikan inklusif dan bermutu.
Saya pernah ikut rapat di sebuah madrasah yang sedang kesulitan dana. Suasananya tegang. Beberapa guru ingin menaikkan iuran karena merasa operasional makin berat. Orang tua menolak karena merasa tidak sanggup. Saya memperhatikan satu guru senior yang diam lama. Ia lalu berbicara pelan. Ia mengusulkan pengurangan kegiatan seremonial yang memakan biaya besar. Ia mengajak semua orang memperbaiki prioritas. Rapat yang tadinya panas berubah lebih jernih. Saya belajar sesuatu. Kadang solusi muncul dari keberanian untuk meninjau ulang hal yang kita anggap biasa.
Makna terjangkau tidak berarti murahan. Terjangkau berarti memikirkan kebutuhan setiap keluarga. Terjangkau berarti menata ulang rencana agar tidak ada anak yang tertinggal hanya karena ia lahir dari keluarga yang sedang berjuang ekonomi. SDG’s mengingatkan kita untuk menyediakan pendidikan yang adil. Madrasah memiliki posisi penting di sini. Ia kombinasi iman, ilmu, dan pelayanan sosial. Ketika madrasah menetapkan biaya yang bijak, ia memberi pesan kepada masyarakat bahwa iman tidak boleh menjadi barang mewah.
Saya melihat beberapa madrasah mulai berinovasi. Ada yang membuat program subsidi silang. Ada yang membuka kelas keterampilan yang hasil produknya membantu kas madrasah. Ada juga yang menggandeng alumni untuk donasi rutin. Beberapa langkah ini mungkin terlihat kecil. Tapi dampaknya nyata. Satu anak tetap sekolah. Satu keluarga bisa tersenyum sedikit lega. Saya merasa praktik seperti ini perlu diperluas. Ini bukan sekadar manajemen. Ini bagian dari ibadah sosial.
Saya pribadi percaya bahwa perubahan lahir dari hati yang tersentuh. Ketika kita melihat seorang siswa pulang berjalan kaki jauh karena tidak punya ongkos. Ketika kita melihat guru tetap mengajar meskipun gajinya belum ideal. Ketika kita menyaksikan orang tua mengangguk pelan saat ditanya apakah mereka mampu membayar. Di situ hati bergerak. Hati itu lalu mendorong akal untuk mencari cara agar madrasah tetap berdiri dengan bermartabat tapi juga tidak membebani.
Madrasah yang terjangkau bukan proyek besar yang butuh slogan. Ia butuh langkah kecil yang konsisten. Transparansi penggunaan dana. Kejujuran dalam menentukan prioritas. Kedekatan dengan masyarakat sekitar. Komunikasi yang terbuka tanpa basa basi berlebihan. Kepala madrasah yang mau turun langsung melihat kondisi keluarga siswanya biasanya lebih cepat memahami kebutuhan nyata di lapangan. Ia bisa membuat kebijakan yang berpihak tanpa menunggu instruksi dari atas.
Saya melihat madrasah sebagai ruang perubahan sosial. Anak-anak belajar akhlak, matematika, bahasa Arab, dan hal-hal yang membentuk masa depan mereka. Mereka perlu ruang yang layak, guru yang dihargai, dan biaya yang tidak memberatkan. Jika madrasah mampu memberikan itu, maka ia sudah menjalankan peran penting dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Kita tidak perlu menunggu pendanaan besar. Kita cukup mulai dari niat untuk memudahkan.
Setiap kali saya mengingat wajah ibu yang bercerita tentang anaknya, saya merasa tulisan seperti ini hanya pengingat kecil. Ia mengingatkan saya dan mungkin juga Anda tentang kewajiban moral kita. Pendidikan yang terjangkau bukan hadiah. Ia hak setiap anak. Madrasah bisa menjadi tempat yang menjaga hak itu tetap hidup. Jika kita mampu menjaga madrasah tetap terbuka bagi semua, kita sedang menanam harapan yang akan tumbuh panjang dalam hidup banyak keluarga.