Trans7, Pesantren, dan Kejahatan Pikiran
Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
(Pegiat literasi, penulis dan pendidik islami
)
Beberapa hari terakhir publik ramai memperbincangkan tayangan Trans7 yang menyorot sowan santri kepada KH. Anwar Mansur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Tayangan itu menggambarkan sowan sebagai praktik feodal dan amplop santri sebagai simbol eksploitasi. Narasinya diucapkan dengan nada sinis: seolah santri adalah korban dan kiai adalah pelaku.
Bagi sebagian orang, ini hanya hiburan. Tapi bagi siapa pun yang memahami tradisi pesantren, tayangan itu melukai. Bukan karena pesantrennya disinggung, melainkan karena yang diserang adalah nilai dasar: adab, keikhlasan, dan penghormatan kepada ilmu.
Tayangan itu menunjukkan gejala yang lebih besar: terjadinya kejahatan pikiran—bukan dalam arti kriminal hukum, tetapi kesalahan berpikir yang sistematis, yang menempatkan nilai spiritual di bawah logika material.
—
1. Kekeliruan Melihat Tradisi
Kejahatan pikiran terjadi ketika suatu institusi atau tradisi dilihat dengan kacamata yang salah. Dalam kasus ini, pesantren dibaca dengan logika kapitalisme modern. Hubungan guru-murid dipahami sebagai hubungan ekonomi. Amal dipandang sebagai transaksi. Adab dianggap feodalisme.
Padahal, pesantren berdiri di atas sistem nilai yang sepenuhnya berbeda. Di pesantren, penghormatan bukan produk ketakutan, tapi kesadaran spiritual. Seorang santri sowan kepada kiai bukan karena tunduk kepada manusia, tetapi karena menghormati ilmu yang ia bawa.
Dalam banyak pesantren, sowan adalah bagian dari pendidikan moral. Santri diajarkan untuk rendah hati di hadapan guru. Ia menundukkan kepala bukan untuk kehilangan martabat, tetapi untuk belajar menempatkan ilmu di atas ego.
Sayangnya, pandangan semacam ini sulit dipahami oleh mereka yang menilai kehidupan hanya dari ukuran ekonomi dan status sosial. Ketika dunia dibaca dengan satu lensa—materi—maka semua bentuk penghormatan yang lahir dari kesadaran rohani akan terlihat sebagai ketertinggalan.
—
2. Kesalahan Jurnalisme yang Menjadi Ideologi
Kita harus mengatakan dengan jujur: masalah ini bukan sekadar kesalahan teknis media. Ini cermin dari krisis intelektual yang lebih dalam.
Jurnalisme seharusnya mengabarkan kenyataan dengan akal sehat dan tanggung jawab moral. Tapi yang terjadi pada tayangan itu adalah penyajian realitas dengan prasangka. Kata-kata yang dipilih bukan menjelaskan, tapi menuduh. Nada yang digunakan bukan bertanya, tapi menghakimi.
Trans7, dalam hal ini, tidak sekadar memberitakan pesantren. Ia membentuk cara berpikir baru di tengah masyarakat: bahwa pesantren adalah tempat feodalisme, bahwa santri adalah korban, bahwa kiai adalah simbol kekuasaan lama.
Inilah yang disebut “kejahatan pikiran”: ketika media berhenti menjadi jendela kebenaran dan berubah menjadi alat ideologi tertentu—entah ideologi pasar, sensasi, atau kebencian terhadap nilai-nilai spiritual.
—
3. Pesantren Sebagai Ruang Pembebasan
Jika kita melihat lebih dalam, pesantren justru lahir sebagai bentuk pembebasan sosial. Pesantren tidak hanya melahirkan ulama, tapi juga tokoh pergerakan nasional. KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim, dan banyak lainnya adalah produk pesantren. Mereka bukan penguasa, tapi pembebas.
Pesantren tidak mengenal kasta. Seorang anak petani bisa duduk sejajar dengan anak pejabat selama mereka sama-sama belajar dengan tekun. Pesantren tidak memungut biaya tinggi, bahkan sering menanggung hidup santri yang miskin.
Dalam tradisi pesantren, memberi amplop kepada kiai bukanlah pungutan, tetapi tanda terima kasih. Amplop itu tidak pernah diwajibkan. Besarnya pun tidak pernah ditentukan. Bahkan banyak kiai yang justru mengembalikan amplop itu dengan cara lain: doa, pengajaran, atau bantuan diam-diam kepada keluarga santri.
Karena itu, ketika media menuduh amplop santri sebagai “alat pengkayaan”, ia telah kehilangan konteks sosial dan spiritual pesantren. Ia hanya melihat uang, bukan makna.
—
4. Adab dan Rasionalitas Islam
Islam adalah agama rasional. Ia mengajarkan tauhid, yang berarti memusatkan seluruh orientasi hidup kepada Tuhan. Tapi tauhid juga melahirkan etika sosial. Salah satunya adalah adab.
Adab bukan sekadar sopan santun, tapi cara berpikir yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Menghormati guru adalah bagian dari adab, sebagaimana menghormati ilmu adalah bagian dari iman.
Imam al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulum al-Din: “Ilmu tidak akan diberikan kepada orang yang tidak menghormati guru.” Ini bukan mitos, tapi prinsip. Dalam tradisi Islam, ilmu tidak hanya dihafal, tetapi ditransfer melalui keteladanan.
Karena itu, relasi antara kiai dan santri bukan relasi kekuasaan, melainkan relasi spiritual. Kiai bukan penguasa, tapi penjaga nilai. Ia mendidik, menasihati, menegur, dan mendoakan. Santri menghormati bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa tanpa adab, ilmu tidak akan memberi cahaya.
Dalam logika modern yang serba horizontal, adab sering dianggap kuno. Tapi justru kehilangan adab adalah awal dari kehancuran peradaban.
—
5. Media dan Krisis Nalar Publik
Di zaman digital, media berperan besar membentuk persepsi. Apa yang ditayangkan di televisi atau media sosial menjadi “kebenaran” bagi banyak orang. Maka ketika media memelintir satu peristiwa, dampaknya bukan kecil.
Kita hidup di era yang disebut Cak Nur sebagai “sekularisasi”—bukan dalam arti menghapus agama, tapi memisahkan nilai dari kesadaran sosial. Agama menjadi urusan pribadi, sementara ruang publik dikuasai logika ekonomi dan sensasi.
Tayangan Trans7 adalah contoh nyata sekularisasi yang keliru arah. Alih-alih menghadirkan rasionalitas yang sehat, ia justru menggantikan nalar moral dengan sinisme. Akibatnya, publik diajak tertawa atas sesuatu yang seharusnya dihormati.
Padahal, media mestinya menjadi sarana pencerahan, bukan penebar prasangka. Nabi Muhammad bersabda, “Cukuplah seseorang disebut berdosa bila ia menyampaikan sesuatu tanpa tabayyun (verifikasi).”
—
6. Pesantren dan Otonomi Moral
Mengapa pesantren sering menjadi sasaran sinisme? Karena pesantren memiliki otonomi moral. Ia berdiri di luar kekuasaan politik dan ekonomi. Ia tidak tunduk kepada pasar, tidak juga sepenuhnya bergantung pada negara.
Otonomi ini membuat pesantren sering menjadi kekuatan moral yang independen. Ia bisa mengkritik penguasa tanpa takut kehilangan dana. Ia bisa menolak arus kapitalisme pendidikan tanpa takut dianggap kolot.
Bagi sebagian kalangan, independensi moral ini berbahaya. Ia mengancam hegemoni ideologi sekular yang ingin mengatur semua dengan logika untung-rugi. Karena itu, pesantren sering digambarkan sebagai lembaga tertinggal, tidak modern, atau bahkan eksploitatif.
Padahal, pesantren justru mempraktikkan prinsip keadilan sosial Islam: hidup sederhana, mandiri, dan saling menanggung. Di tengah komersialisasi pendidikan, pesantren adalah ruang oase yang menjaga keseimbangan antara ilmu dan nilai.
—
7. Melawan dengan Nalar, Bukan Amarah
Kemarahan publik terhadap tayangan Trans7 bisa dimengerti. Tapi tanggapan terbaik terhadap kejahatan pikiran bukan amarah, melainkan nalar. Pesantren tidak perlu membalas dengan hujatan, tetapi dengan pencerahan.
Kita bisa menjawab sinisme dengan menunjukkan realitas. Bahwa banyak pesantren yang mengelola dana dengan transparan. Bahwa banyak kiai hidup sederhana, bahkan kekayaannya habis untuk membangun sekolah dan menolong masyarakat.
Kita bisa menulis, meneliti, dan berdialog. Santri zaman sekarang harus menjadi bagian dari masyarakat berpikir. Jangan hanya menuntut permintaan maaf, tapi juga meluruskan cara berpikir publik tentang pesantren.
Inilah makna “islah” dalam Islam: memperbaiki, bukan menghancurkan.
—
8. Refleksi Spiritual dan Kemanusiaan
Kalau kita renungkan lebih dalam, kasus ini sebenarnya bukan hanya soal Trans7 atau pesantren. Ini soal benturan dua cara pandang dunia.
Yang satu memandang manusia sebagai makhluk ekonomi. Segala sesuatu diukur dengan uang dan kepentingan. Yang lain memandang manusia sebagai makhluk spiritual. Segala sesuatu diukur dengan niat dan nilai.
Pesantren berdiri di sisi yang kedua. Ia mempertahankan kemanusiaan dalam dunia yang semakin mekanistik. Ia menolak menjadikan pendidikan sebagai industri. Ia menolak menjadikan penghormatan sebagai transaksi.
Dalam pesantren, ada rasa kebersamaan yang tulus. Santri membersihkan halaman bukan karena diperintah, tapi karena merasa bagian dari rumah itu. Kiai menasihati bukan karena dibayar, tapi karena cinta. Semua bergerak dengan kesadaran moral, bukan paksaan struktural.
Dan inilah yang hilang dalam narasi media modern: makna manusia.
—
9. Tugas Intelektual Muslim
Sebagai umat Islam, kita tidak boleh berhenti pada reaksi emosional. Kita harus menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran.
Pertama, umat harus memperkuat literasi media. Jangan mudah percaya pada tayangan yang belum diverifikasi. Setiap berita harus dibaca dengan akal sehat.
Kedua, pesantren perlu memperkuat komunikasi publiknya. Dunia sudah berubah. Santri dan kiai tidak cukup hanya dikenal di lingkungan sendiri. Mereka perlu hadir di ruang digital dengan narasi positif, agar tradisi luhur pesantren tidak dipahami keliru.
Ketiga, para intelektual Muslim harus terus menjembatani dua dunia: dunia nilai dan dunia modernitas. Tugas kita bukan menolak modernitas, tapi memberi dasar moral agar modernitas tidak kehilangan ruh.
Inilah makna “Islam yes, partai Islam no” yang dulu diserukan Cak Nur, yakni Islam sebagai nilai universal, bukan sebagai simbol atau alat kekuasaan. Dalam konteks hari ini, kita bisa katakan: Islam yes, sinisme no.
—
10. Menjaga Akal dan Nurani
Kejahatan pikiran hanya bisa dilawan dengan pencerahan akal dan kebersihan hati. Rasulullah pernah bersabda, “Apabila hati baik, maka baiklah seluruh jasad.” Dalam konteks sosial, apabila pikiran jernih, maka sehatlah masyarakat.
Kita tidak bisa menuntut media berhenti menyiarkan hal-hal dangkal jika masyarakat masih menikmati kedangkalan itu. Karena itu, tanggung jawab kita bukan hanya menegur Trans7, tapi juga mendidik publik agar tidak menikmati sinisme.
Kita harus membangun budaya baru: budaya berpikir kritis sekaligus beradab. Budaya dialog, bukan caci maki. Budaya mencari kebenaran, bukan mencari sensasi.
—
*Penutup*
Kasus Trans7 bukan akhir, tapi awal dari refleksi lebih besar. Kita diingatkan bahwa pertempuran terbesar zaman ini bukan antara Islam dan non-Islam, bukan antara pesantren dan televisi, tapi antara akal sehat dan kejahatan pikiran.
Pesantren harus terus menjadi penjaga akal sehat itu. Ia harus tetap berdiri sebagai benteng nilai di tengah badai materialisme. Ia harus terus mendidik santri agar tidak hanya pandai membaca kitab, tapi juga memahami zaman.
Jika pesantren mampu menjaga keseimbangan antara ilmu dan adab, antara nalar dan nurani, maka serangan apa pun tidak akan menggoyahkannya. Sebab kekuatan pesantren bukan pada kemegahan bangunannya, tapi pada kesucian niat para penghuninya.
Trans7 boleh menyiarkan apapun, tapi pesantren telah menyiarkan nilai-nilai kemanusiaan jauh sebelum televisi lahir. Dan selama nilai itu hidup, bangsa ini tidak akan kehilangan arah.