RLI
Thursday, November 13, 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
No Result
View All Result
RLI
No Result
View All Result
Home artikel

Membangun Akses Pendidikan Islam yang Adil bagi Siswa dari Keluarga Rentan

Sesi-3

Admin by Admin
November 3, 2025
in artikel, Manajemen Pendidikan Islam
0 0
0
0
SHARES
4
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi
Direktur Research and Literacy Institute (RLI)
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Saya pernah mendatangi sebuah rumah kecil di pinggir kampung ketika diminta mengunjungi orang tua salah satu siswa. Rumah itu berdinding papan tipis. Lantainya masih tanah. Di dalamnya ada satu meja kecil tempat anak mereka belajar setiap malam. Ibunya menjelaskan bahwa anaknya ingin tetap sekolah di madrasah, tapi mereka kesulitan membayar iuran yang terus naik. Saya mendengarkan sambil menahan banyak hal di dada. Di depan saya ada keluarga yang bekerja keras, tapi tetap berada di batas kemampuan. Saya keluar dari rumah itu dengan langkah pelan, sambil mencoba memahami kembali makna akses pendidikan.

Saya sering merasa bahwa pembangunan pendidikan Islam harus dimulai dari sudut pandang anak seperti ini. Anak yang ingin belajar. Anak yang tidak pernah meminta dilahirkan dalam kemiskinan. Anak yang punya harapan, tapi harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Saya menyadari bahwa pembatas terbesar dalam pendidikan sering kali bukan semangat belajar, tapi struktur sosial yang tidak berpihak pada mereka yang rentan. Ketimpangan itu nyata. Ia hadir dalam biaya seragam, buku, dan transportasi yang tampak sepele bagi sebagian orang, tapi sangat berat bagi sebagian keluarga.

Saya melihat bahwa kepemimpinan madrasah memegang peran besar dalam menjembatani ketimpangan ini. Kepala madrasah yang peka akan langsung merasakan beban keluarga siswa. Ia mengajak guru, komite, dan masyarakat untuk membuka ruang dialog. Ia mencari cara agar biaya sekolah tidak menjadi batu besar yang menghalangi langkah anak-anak. Ia memetakan ulang pos anggaran. Ia mencari beasiswa. Ia menggerakkan alumni. Ia melibatkan tokoh lokal untuk mendukung program sosial madrasah. Semua langkah itu sederhana, tapi dapat menjadi penyelamat bagi banyak keluarga.

Saya ingat satu pertemuan madrasah yang berlangsung agak tegang karena ada wacana kenaikan biaya. Sebagian guru merasa biaya operasional semakin berat. Orang tua terlihat cemas. Ada yang menunduk lama, seolah sedang menghitung-hitung sisa harian di dalam kepala. Saya teringat pada satu guru senior yang akhirnya bersuara. Ia tidak menolak kenaikan biaya, tapi ia meminta agar madrasah terlebih dulu memangkas kegiatan dan belanja internal yang tidak mendesak. Suasana rapat berubah lebih jernih. Saya melihat bahwa keadilan dalam pendidikan tidak hanya soal empati, tapi juga soal keberanian untuk mengatur ulang prioritas.

SDG’s mengajarkan tentang pentingnya pendidikan berkualitas dan inklusif. Saya merasa madrasah memiliki tempat khusus dalam misi itu. Madrasah bukan hanya sekolah. Ia ruang yang menggabungkan nilai agama, karakter, dan harapan sosial. Ia bisa menjadi pelindung bagi keluarga rentan. Jika madrasah dapat memastikan bahwa setiap anak diterima tanpa memandang kemampuan ekonomi, maka madrasah sedang menjalankan sebagian dari amanah besar Islam tentang keadilan sosial.

Saya sering melihat madrasah berusaha bertahan dengan cara kreatif. Ada yang membuat program subsidi silang dari keluarga yang mampu. Ada yang menjalin kerja sama dengan koperasi lokal. Ada yang mengajukan proposal ke lembaga zakat atau tokoh masyarakat. Ada juga yang membuka kelas kewirausahaan kecil, lalu sebagian hasilnya dipakai menutup biaya siswa rentan. Langkah-langkah kecil ini mungkin tidak terlihat mewah, tapi dampaknya terasa langsung. Satu anak tetap bisa sekolah tanpa rasa malu. Satu keluarga bisa sedikit menghela napas.

Saya juga belajar bahwa akses pendidikan yang adil tidak cukup diukur dari pintu yang dibuka. Pintu memang terbuka. Tapi apakah anak-anak bisa masuk tanpa rasa takut ditolak. Tanpa merasa bahwa mereka adalah beban. Tanpa merasa bahwa kemampuan ekonomi menentukan martabat. Madrasah yang adil harus memberi rasa aman bagi semua siswa. Bukan hanya aman secara fisik, tapi juga aman secara emosional. Anak tidak boleh merasa direndahkan hanya karena ia berasal dari keluarga yang sedang berjuang.

Saya pernah berbicara dengan seorang ayah yang bekerja sebagai buruh harian. Ia bilang bahwa ia malu setiap kali ada rapat orang tua. Ia merasa pakaiannya tidak pantas. Ia takut ditanya soal pembayaran yang tertunda. Saya melihat bahwa keadilan pendidikan bukan hanya tentang biaya. Ia juga tentang martabat orang tua. Madrasah yang baik harus menyambut semua orang tua dengan hormat. Tidak peduli apa pekerjaannya. Tidak peduli berapa penghasilannya. Ketika orang tua merasa dihargai, anak-anak mereka merasakan hal yang sama.

Saya percaya bahwa solusi terbaik sering lahir dari kedekatan antara madrasah dan masyarakat. Kepala madrasah yang rajin turun ke lingkungan sekitar biasanya lebih memahami kondisi keluarga siswa. Ia tahu siapa yang butuh bantuan segera. Ia tahu siapa yang sedang kesulitan. Ia bisa membuat kebijakan yang tepat sasaran. Kebijakan seperti itu adalah bentuk kepemimpinan yang tidak bising oleh jargon, tapi bekerja dalam senyap untuk memastikan tidak ada anak yang berhenti sekolah.

Saya memandang bahwa madrasah dapat menjadi ruang pemutus mata rantai kemiskinan. Anak-anak belajar ilmu agama dan pengetahuan umum. Mereka belajar nilai-nilai tentang kerja keras, kejujuran, dan pengabdian. Mereka dapat mengangkat kondisi keluarga di masa depan. Tapi semua itu hanya mungkin jika madrasah membuka pintunya dengan adil. Adil bagi yang mampu. Adil bagi yang tidak mampu. Adil bagi yang berada di tengah-tengah dan sering luput dari perhatian.

Saya sering menyimpan wajah-wajah anak yang saya temui di berbagai madrasah. Ada yang datang tanpa bekal, tapi tetap tersenyum. Ada yang meminjam buku dari temannya karena belum bisa membeli. Ada yang pulang berjalan kaki cukup jauh. Ada yang tetap semangat meski sandal mereka sudah tipis. Setiap wajah itu membuat saya berpikir bahwa keadilan pendidikan bukan konsep besar. Ia nyata dalam hal-hal kecil yang kita lihat setiap hari.

Saya ingin madrasah berdiri sebagai tempat yang ramah bagi keluarga rentan. Tempat yang tidak membedakan anak dari profesi orang tuanya. Tempat yang tidak membuat orang tua takut datang ke sekolah. Tempat yang memberi kesempatan yang sama bagi semua. Jika kita menjaga ini, madrasah bukan hanya menjadi lembaga pendidikan, tapi juga rumah sosial yang menguatkan masyarakat.

Saya merasa tulisan seperti ini hanyalah pengingat kecil. Pengingat bahwa pendidikan Islam harus berpihak pada yang paling lemah. Pengingat bahwa kepemimpinan madrasah harus dekat dengan denyut masyarakat. Pengingat bahwa SDG’s bukan slogan, tapi arah yang harus kita ikuti bersama. Jika madrasah mampu berjalan ke arah itu, maka kita sedang membangun sesuatu yang jauh lebih besar dari sekolah. Kita sedang membangun harapan yang bertahan lama di hati banyak keluarga.

Previous Post

Membangun Akses Pendidikan Islam yang Adil bagi Siswa dari Keluarga Rentan

Next Post

Strategi Madrasah untuk Menghapus Kesenjangan Belajar

Next Post

Strategi Madrasah untuk Menghapus Kesenjangan Belajar

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Mewujudkan Madrasah ramah anak untuk semua
  • Menjaga benteng terakhir penjaga moral anak bangsa
  • Ambisi politik aktivis muda dan realitas menuju kekuasaan: What should you do?
  • Dua Guru, Sepuluh Bulan Tanpa Gaji, dan Rasa Keadilan yang Hilang 
  • Budaya Kerja Positif yang Dimulai dari Kepemimpinan Kuat

Recent Comments

No comments to show.
RLI

© 2024 RLI

Navigate Site

  • Home Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO

© 2024 RLI