Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha 
Dalam khazanah Islam, syura atau musyawarah bukan sekadar proses administratif, tetapi cermin kedewasaan spiritual dan sosial umat. Al-Qur’an memuji orang beriman dengan ciri khas “urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka” (QS. Asy-Syura [42]: 38). Ayat ini menegaskan bahwa musyawarah adalah bagian dari akhlak keislaman, bukan sekadar teknik pengambilan keputusan.
Dalam konteks pendidikan Islam, syura memiliki makna strategis. Ia menuntut keterbukaan, tanggung jawab, dan kebersamaan dalam mengelola lembaga. Tanpa syura, pendidikan Islam mudah terjebak dalam otoritarianisme, baik dalam gaya kepemimpinan maupun dalam proses belajar. Musyawarah memastikan bahwa keputusan diambil dengan pertimbangan ilmiah dan moral, bukan hanya kehendak satu orang.
Rasulullah saw. adalah teladan dalam penerapan syura. Beliau selalu melibatkan para sahabat, bahkan dalam urusan besar seperti perang dan pemerintahan. Dari teladan beliau, lahir banyak hadis yang menegaskan pentingnya musyawarah:
-
“Tidaklah suatu kaum bermusyawarah, kecuali mereka akan ditunjukkan kepada jalan yang terbaik di antara mereka.” (HR. Ahmad)
-
“Tidak akan kecewa orang yang beristikharah (meminta petunjuk kepada Allah), dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah.” (HR. Thabrani)
-
“Apabila salah seorang dari kalian bermaksud melakukan suatu urusan, maka hendaklah ia bermusyawarah dengan orang yang berakal dan amanah.” (HR. Thabrani)
-
“Barang siapa yang dimintai pendapatnya oleh saudaranya, hendaklah ia memberi nasihat dengan benar.” (HR. Ahmad)
-
Dalam peristiwa Uhud, Rasulullah menerima hasil musyawarah sahabat dan bersabda: “Berangkatlah kalian atas nama Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima hadis ini menjadi fondasi moral bagi sistem pendidikan Islam yang partisipatif dan berkeadaban.
—-000—-
1. Syura sebagai Prinsip Spiritual dan Manajerial
Syura bukan sekadar forum rapat. Ia adalah ibadah sosial. Ketika seseorang bermusyawarah dengan niat mencari kebenaran dan kebaikan bersama, ia sedang menunaikan ibadah. Dalam syura, ego diredam, pendapat orang lain dihargai, dan keputusan diambil dengan keikhlasan.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menulis bahwa syura adalah bagian dari adab pemimpin terhadap rakyatnya. Pemimpin yang baik, katanya, tidak merasa cukup dengan pandangannya sendiri. Ia mendengarkan orang yang lebih tahu di bidang tertentu, sebab hikmah bisa datang dari siapa saja.
Dalam manajemen pendidikan Islam, prinsip ini sejalan dengan konsep participative leadership atau kepemimpinan partisipatif. Kepala madrasah atau rektor bukan penguasa tunggal, melainkan fasilitator kebersamaan. Ia memfasilitasi diskusi, mendengar guru, staf, dan bahkan siswa sebelum mengambil kebijakan.
Nurcholish Madjid pernah menulis bahwa nilai rasionalitas dan keterbukaan adalah esensi dari Islam. Menurutnya, musyawarah adalah cara Islam menegakkan rasionalitas sosial. Dalam pendidikan, ini berarti keputusan strategis, kurikulum, kebijakan akademik, evaluasi guru, harus berdasarkan dialog dan argumentasi, bukan otoritas semata.
Ketika lembaga pendidikan menerapkan syura secara nyata, setiap anggota merasa dihargai. Guru akan lebih bersemangat, siswa merasa aman berpendapat, dan pimpinan mendapat kepercayaan moral.
—-000—-
2. Disiplin dalam Bingkai Syura
Musyawarah menciptakan kesepakatan. Disiplin memastikan kesepakatan itu dijalankan.
Hadis pertama menegaskan bahwa kaum yang bermusyawarah akan ditunjukkan kepada jalan terbaik. Jalan terbaik itu tidak berhenti pada keputusan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan yang konsisten.
Rasulullah sendiri memberi contoh disiplin dalam menjalankan hasil musyawarah. Dalam Perang Uhud, beliau ingin bertahan di dalam Madinah. Namun mayoritas sahabat ingin keluar menghadapi musuh di lapangan. Rasulullah menerima keputusan itu dengan lapang dada. Beliau tidak membatalkan hasil musyawarah, meskipun ternyata strategi itu menimbulkan korban besar. Setelah perang, beliau tidak menyalahkan siapa pun. Inilah bentuk disiplin moral terhadap hasil syura.
Dalam pendidikan Islam, disiplin seperti ini sangat penting. Misalnya, guru dan pimpinan sekolah sepakat tentang tata tertib akademik, evaluasi siswa, atau kebijakan kehadiran. Maka semua pihak harus komitmen menegakkannya. Disiplin bukan lagi bentuk tekanan dari atasan, tetapi wujud kesetiaan pada kesepakatan bersama.
Tanpa disiplin, syura hanya melahirkan keputusan yang berhenti di kertas. Sebaliknya, tanpa syura, disiplin bisa berubah menjadi paksaan. Keduanya harus berjalan seimbang.
—-000—-
3. Syura sebagai Pendidikan Demokrasi Islam
Pendidikan Islam seharusnya menjadi laboratorium demokrasi, bukan ruang dogma. Musyawarah adalah cara paling manusiawi untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan tanggung jawab.
Sayangnya, banyak lembaga pendidikan Islam masih otoriter. Kepala sekolah sulit dikritik, guru tidak dilibatkan, siswa hanya menjadi penerima kebijakan. Akibatnya, nilai-nilai syura tidak hidup di tempat yang justru mengajarkan Islam.
Padahal Rasulullah saw. memberi teladan keterbukaan luar biasa. Dalam perang Khandaq, ide menggali parit datang dari Salman al-Farisi, seorang sahabat muda dan bukan orang Arab. Nabi menerima ide itu tanpa ragu. Ini bukti bahwa dalam syura, kebenaran ide lebih utama daripada status sosial.
Bayangkan jika semangat ini hadir di madrasah dan pesantren. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga belajar dari siswa. Kepala sekolah berdialog dengan guru dan orang tua. Forum guru bukan formalitas, tetapi wadah mencari solusi. Maka lembaga pendidikan Islam bukan hanya tempat mentransfer ilmu, tetapi juga tempat tumbuhnya budaya musyawarah yang sehat.
Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah menulis bahwa kekuasaan yang tidak dilandasi musyawarah akan kehilangan legitimasi moral. Prinsip yang sama berlaku di sekolah. Kepemimpinan yang tidak melibatkan guru dan siswa akan kehilangan wibawa moral, meski memiliki otoritas formal.
—-000—-
4. Implementasi Syura dalam Manajemen Pendidikan Islam
Implementasi nilai syura dapat dilakukan di berbagai level lembaga pendidikan:
a. Kepemimpinan. Kepala sekolah dan rektor perlu menumbuhkan gaya kepemimpinan kolaboratif. Keputusan penting, eperti pengelolaan keuangan, kebijakan kurikulum, dan pengembangan SDM—harus dibahas dalam forum bersama.
b. Perencanaan. Rencana strategis sekolah harus disusun bersama. Visi “unggul dan berakhlak” akan bermakna jika guru dan staf ikut menetapkan indikator dan langkah nyatanya.
c. Pengawasan. Evaluasi kinerja sebaiknya dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Dalam Islam, musyawarah juga berarti saling menasihati. Dengan model ini, budaya kritik tumbuh tanpa rasa takut.
d. Pembelajaran. Guru bisa menanamkan nilai syura di kelas dengan memberi ruang bagi siswa untuk berdiskusi, berdebat sehat, dan mengambil keputusan kelompok. Pembelajaran kolaboratif sejalan dengan semangat musyawarah.
e. Budaya lembaga. Syura bukan hanya mekanisme formal, tetapi etika bersama. Di lembaga yang sehat, rapat bukan kewajiban administratif, tetapi ruang spiritual untuk mencari kebenaran bersama.
Jika prinsip ini dijalankan, lembaga pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang berdisiplin, terbuka, dan berakhlak.
—-000—-
5. Tantangan dan Jalan Ke Depan
Tantangan utama penerapan syura bukan pada teori, melainkan mentalitas. Banyak pimpinan lembaga masih menganggap musyawarah sebagai ancaman terhadap wibawa. Padahal, Rasulullah sendiri membangun wibawa melalui keterbukaan.
Nurcholish Madjid berulang kali mengingatkan bahwa Islam bukanlah agama otoriter. Dalam salah satu tulisannya ia mengatakan: “Kebenaran tidak mungkin dimonopoli. Ia adalah hasil pencarian kolektif melalui akal dan hati.” Pandangan ini menegaskan bahwa syura adalah mekanisme peradaban, bukan sekadar kewajiban agama.
Pendidikan Islam yang menghidupkan syura akan melahirkan iklim berpikir kritis dan kreatif. Guru tidak takut memberi usulan. Siswa terbiasa bertanya. Kepala sekolah mendengar sebelum memutuskan. Inilah tanda lembaga yang berjiwa Qur’ani.
Dalam jangka panjang, budaya syura membentuk karakter warga lembaga yang disiplin dan bertanggung jawab. Disiplin tidak lagi lahir dari paksaan, tetapi dari kesadaran moral untuk menjaga komitmen bersama.
—-000—-
6. Syura dan Kualitas Pendidikan Islam
Kualitas pendidikan tidak hanya diukur dari akreditasi atau prestasi akademik. Kualitas sejati terletak pada moralitas lembaga: cara mengambil keputusan, cara menyelesaikan konflik, dan cara menghargai pendapat.
Musyawarah menciptakan keadilan dalam proses itu. Ketika semua pihak terlibat, keputusan menjadi lebih realistis dan berakar pada kebutuhan nyata. Guru merasa dihargai, siswa termotivasi, dan orang tua percaya.
Dalam kerangka manajemen modern, syura identik dengan shared governance dan collaborative management. Namun dalam Islam, nilai ini lebih tinggi: ia bersumber dari wahyu. Oleh karena itu, penerapan syura dalam lembaga pendidikan Islam bukan hanya strategi manajerial, tetapi juga ibadah sosial yang membawa barakah.
—-000—-
7. Penutup: Jalan Pencerahan Melalui Syura
Rasulullah saw. adalah pemimpin yang paling terbuka terhadap masukan. Beliau pernah menolak usul yang salah, tetapi tidak pernah melarang orang berbicara. Sikap ini menunjukkan bahwa syura adalah jalan pencerahan.
Dalam pendidikan Islam, pencerahan itu berarti membangun lembaga yang hidup dengan nilai-nilai Qur’ani: ilmu, adab, dan musyawarah. Guru, siswa, dan pimpinan tidak lagi berjarak, tetapi bersatu dalam semangat mencari kebenaran.
Sebagaimana sabda Nabi:
“Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka akan ditunjukkan kepada jalan terbaik.”
Jalan terbaik itu bukan sekadar kebijakan yang tepat, tetapi juga jalan menuju masyarakat beradab.
Maka, tugas kita sebagai pendidik bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi menanamkan nilai syura sebagai akhlak sosial. Dengan itu, pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak, disiplin, dan demokratis dalam cahaya iman.