Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Penulis merupakan praktisi pendidikan, pegiat literasi, pendidik, peneliti, pengabdi juga sebagai Dosen UIN SGD Bandung. Kepakaran di bidang manajemen pendidikan Islam khususnya kepemimpinan. Tulisan-tulisan ini adalah salah satu seri tentang keresahan penulis yang pernah menjadi guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, asesor akreditasi, pengurus yayasan, aktivis organisasi, dan pengamat pendidikan. Sejak 2023 diamanahi sebagai Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi.

===================
Dalam Al-Qur’an, wahyu pertama yang turun bukan perintah salat, bukan zakat, bukan pula membangun lembaga atau negara. Yang pertama justru satu kata sederhana namun revolusioner: “Iqra’”—bacalah.
Bacalah dunia, bacalah dirimu, bacalah realitas. Kata ini tidak hanya menandai lahirnya agama Islam secara tekstual, tetapi juga menandai arah dasar peradaban Islam: bahwa agama ini dibangun di atas kesadaran, pemahaman, dan perubahan. Maka, kalau kita bicara tentang kepemimpinan dalam lembaga pendidikan Islam, pertanyaan dasarnya bukan lagi sekadar “siapa yang memimpin?” tapi “apakah kepemimpinan itu mencerdaskan?”
Iqra’ Sebagai Ruh Kepemimpinan Pendidikan
Kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang membebaskan. Ia tidak mengandalkan otoritas struktural, tapi kekuatan inspirasi. Pemimpin transformasional tidak sekadar menyuruh dan memerintah, tapi menyulut kesadaran pada mereka yang ia pimpin.
Dan bukankah ini juga yang dilakukan Rasulullah SAW? Beliau memimpin bukan dengan kekerasan, bukan dengan teriakan. Beliau hadir dengan akhlak, dengan pembacaan realitas sosial yang dalam, dan dengan harapan. Inilah yang membedakan antara pemimpin administratif dan pemimpin visioner.
Nurcholish Madjid, atau Cak Nur, sering menekankan bahwa kesadaran keagamaan harus ditopang oleh kesadaran rasional dan moral. Maka pemimpin pendidikan Islam hari ini harus mampu menanamkan spirit Iqra’ bukan hanya pada siswa, tapi pertama-tama pada dirinya sendiri dan seluruh jajarannya.
Cak Nur dan Misi Kemanusiaan Pendidikan
Cak Nur tidak menulis banyak tentang manajemen pendidikan dalam makna teknis, tapi pemikirannya sangat kaya untuk dibaca sebagai inspirasi perubahan struktural dan kultural dalam lembaga pendidikan. Ia menolak bentuk-bentuk keberagamaan yang hanya simbolik. Bagi Cak Nur, agama harus menjadi jalan untuk menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya.
Kalau kita mengelola sekolah Islam hanya sebagai tempat mengajar hafalan, tanpa membuka ruang dialog, berpikir kritis, dan tumbuhnya karakter, maka sejatinya kita sedang mengkhianati semangat wahyu pertama itu.
Cak Nur menyebut Islam sebagai jalan pembebasan, dan dalam konteks pendidikan, membebaskan berarti mengantar siswa dan guru dari ketakutan menuju keberanian berpikir; dari ketergantungan menuju kemandirian; dari dogma menuju pemahaman.
Kepala sekolah atau pimpinan lembaga pendidikan Islam yang transformasional akan:
- menciptakan budaya belajar yang terbuka
- mengajak guru sebagai mitra berpikir, bukan anak buah
- mendorong murid bertanya, bukan sekadar menjawab
Membaca Zaman, Menjawab Tantangan
Kepemimpinan transformatif lahir dari kemampuan membaca konteks. Dalam istilah Cak Nur, kita harus “beragama secara rasional dan historis.” Artinya, nilai-nilai Islam harus dihadirkan secara kontekstual, menjawab tantangan zaman, bukan membungkus diri dalam nostalgia romantik masa lalu.
Mari kita jujur: banyak sekolah Islam hari ini lebih sibuk pada tampilan luar. Seragam panjang, jargon religius, parade hafalan. Tapi tak ada ruang bertanya, tak ada ruang ragu, apalagi ruang berdialog. Semuanya digerakkan oleh ketakutan akan kehilangan identitas.
Padahal, Cak Nur justru percaya bahwa iman yang kokoh tumbuh dari proses berpikir, bukan dari penggiringan paksa. Maka pemimpin pendidikan harus hadir sebagai pembaca zaman. Ia harus tahu bahwa generasi hari ini tidak bisa disamakan dengan generasi dua dekade lalu. Cara mereka belajar, bertanya, memprotes, dan mencari makna, jauh berbeda.
Kepemimpinan yang kaku, birokratis, dan penuh larangan hanya akan melahirkan siswa yang pasif. Tapi kepemimpinan yang membuka, mendengar, dan membimbing akan menyalakan semangat belajar.
Tiga Pilar Kepemimpinan ala Spirit Iqra’
- Keberanian untuk Berubah
Pemimpin transformatif tidak takut meninjau ulang kurikulum, membuka diskusi, atau menghapus praktik-praktik yang kaku dan mengekang. - Kemampuan Mendengar dan Belajar
Dalam surah Az-Zumar, Allah berfirman: “Sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya.” Mendengar adalah seni kepemimpinan yang jarang diajarkan. - Keteladanan dalam Berpikir
Pemimpin sekolah yang membaca, merenung, dan menulis akan lebih mudah menghidupkan budaya belajar. Ia tidak perlu memerintah—cukup memberi teladan.
Menutup Sekat Antara Ilmu dan Iman
Salah satu warisan penting dari Cak Nur adalah gagasannya tentang integrasi ilmu dan iman. Ia menolak dikotomi ilmu dunia dan ilmu agama. Bagi Cak Nur, semua ilmu yang membawa manusia pada keadilan, kebijaksanaan, dan kemaslahatan, adalah bagian dari nilai Islam.
Kepala sekolah yang terinspirasi semangat ini tidak akan menempatkan guru matematika sebagai pelengkap, atau siswa IPA sebagai kurang religius. Semua bidang ilmu diberi panggung dan kehormatan yang sama, selama dipandu dengan nilai-nilai ilahiah.
Dan inilah yang kita butuhkan: pemimpin yang melihat seluruh sistem pendidikan sebagai jalan menuju kemanusiaan yang utuh.
Penutup
Spirit Iqra’ adalah seruan perubahan. Dan dalam konteks pendidikan, perubahan itu dimulai dari yang paling atas: dari pemimpinnya. Kalau kepala sekolah tidak berubah, lembaga pun akan sulit tumbuh.
Maka mari kita tiru Cak Nur, bukan dalam gaya atau penampilan, tapi dalam semangatnya: membaca zaman, menjawab tantangan, dan tak pernah berhenti belajar.
Karena pada akhirnya, pendidikan Islam bukan soal gedung dan seragam, tapi soal ruh dan arah. Dan kepemimpinan transformasional adalah mereka yang mampu menyalakan arah itu, bersama yang mereka pimpin.