Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan di Lembaga Pendidikan Islam. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi.
===000====
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai sosok yang seolah tak pernah salah. Ucapannya harus diterima, keputusannya tak boleh digugat, dan pandangannya selalu benar. Bila ada yang menentang, ia merasa diserang. Bila ada yang memberi saran, ia menilai itu sebagai penghinaan. Orang seperti ini bukan hanya sulit diajak bekerja sama, tetapi juga sering membuat orang di sekitarnya merasa lelah dan tidak dihargai.
Para ahli psikologi menyebutnya sebagai Narcissistic Personality Disorder (NPD). Sebuah kondisi ketika seseorang memiliki kebutuhan berlebihan untuk dikagumi, disertai ketidakmampuan mengakui kelemahan diri. Dalam bahasa agama, ia adalah manusia yang terjebak dalam ‘ujub yaityu kekaguman pada diri sendiri, dan takabbur, yaitu merasa lebih tinggi dari orang lain.
Al-Qur’an menceritakan tipe manusia seperti ini dalam banyak kisah. Salah satunya adalah kisah Fir’aun. Ia berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi‘at [79]: 24). Kalimat ini bukan sekadar ekspresi kesombongan, tapi juga cermin dari kepribadian yang meyakini dirinya tak mungkin salah. Segala sesuatu harus tunduk pada kehendaknya.
Dalam konteks modern, bentuknya tak selalu berupa klaim ketuhanan. Ada yang tampil sebagai pemimpin organisasi, kepala lembaga, atau bahkan tokoh agama, yang tak mau dikritik dan selalu menuntut pengakuan. Ia ingin terus dipuji, dan bila tidak mendapatkannya, ia merasa terancam.
Sikap seperti ini berbahaya, karena menghancurkan rasa keadilan dan kepercayaan di lingkungan kerja. Orang-orang berhenti bicara jujur karena takut disalahkan. Mereka memilih diam agar selamat. Dalam suasana seperti itu, kebenaran dikorbankan demi perasaan satu orang yang terlalu rapuh untuk dikritik.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar zarrah.” (HR. Muslim). Kesombongan yang kecil saja bisa menghalangi seseorang dari rahmat Allah, apalagi bila ia tumbuh menjadi pola kepribadian.
Dalam kehidupan nyata, kita bisa melihatnya dalam bentuk sederhana. Misalnya, seorang atasan yang memarahi bawahannya hanya karena ia memberikan masukan. Atau seorang guru yang tidak mau dikoreksi muridnya walau keliru menyebut data. Atau seorang tokoh masyarakat yang berbohong di depan publik demi menjaga citra. Mereka lupa bahwa kebenaran tidak bergantung pada posisi, tapi pada kejujuran.
Narsisis tidak bisa menerima bahwa dirinya bisa salah. Ia menganggap mengakui kesalahan sama dengan kehilangan harga diri. Padahal, dalam pandangan Islam, justru orang yang mau mengakui kesalahan adalah orang yang dekat dengan kebenaran. Nabi SAW bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi).
Jadi, ukuran kemuliaan bukan pada kesempurnaan, tetapi pada kejujuran untuk memperbaiki diri.