RLI
Tuesday, October 7, 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
No Result
View All Result
RLI
No Result
View All Result
Home artikel

Keluarga Tangguh di Era Digital: Menjaga Nilai, Menata Generasi

Admin by Admin
October 6, 2025
in artikel
0 0
0
0
SHARES
45
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Keluarga Tangguh di Era Digital: Menjaga Nilai, Menata Generasi
Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Ada satu lembaga yang tidak pernah usang oleh zaman, bahkan menjadi penopang segala perubahan: keluarga. Ia adalah tempat pertama manusia belajar mencintai, memahami, dan menjadi manusia seutuhnya. Namun kini, ketika dunia digital memasuki ruang paling pribadi dari kehidupan, keluarga menghadapi ujian yang belum pernah ada sebelumnya.

Teknologi tidak lagi sekadar alat bantu. Ia telah menjadi ruang hidup baru bagi manusia. Anak-anak tumbuh dengan layar, bukan halaman rumah. Percakapan berpindah dari meja makan ke ruang obrolan daring. Ayah dan ibu kadang lebih sibuk dengan notifikasi di ponsel daripada mendengar cerita anak sepulang sekolah. Di sinilah persoalan besar keluarga modern: bagaimana menjaga nilai di tengah banjir informasi dan membentuk generasi yang tangguh, bukan terombang-ambing oleh gelombang digital?

—-000—-

1. Keluarga Sebagai Madrasah Pertama

Islam menegaskan peran keluarga sebagai fondasi peradaban. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks keluarga, orang tua adalah pemimpin kecil yang membangun karakter anak melalui teladan dan kasih sayang.

Keluarga bukan hanya tempat tinggal, melainkan tempat bertumbuh. Di sinilah nilai-nilai dasar, yaitu iman, kejujuran, tanggung jawab, dan empati yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Maka dalam bahasa Cak Nur, pendidikan keluarga adalah bentuk paling awal dari “pencerahan akal dan penyucian hati”. Ia tidak berhenti pada pengajaran agama secara formal, tetapi menghadirkan agama sebagai napas kehidupan sehari-hari.

Namun, banyak keluarga hari ini kehilangan fungsi itu. Orang tua menyerahkan proses pembentukan karakter pada sekolah, gawai, atau media sosial. Padahal nilai tidak bisa diwariskan lewat kata-kata, tetapi lewat contoh hidup. Anak belajar tentang sabar dari cara ayah menahan marah. Ia mengenal kasih sayang dari kelembutan ibu. Ia memahami kejujuran dari perilaku orang tuanya yang konsisten, bukan dari nasihat semata.

 

—-000—-

2. Disrupsi Digital dan Krisis Nilai

Era digital menghadirkan perubahan sosial yang luar biasa cepat. Informasi tersebar tanpa batas. Otoritas pengetahuan berpindah dari guru dan orang tua ke layar ponsel. Anak-anak kini lebih percaya pada “influencer” daripada pada ayah dan ibunya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa keluarga kehilangan peran sebagai sumber utama nilai dan makna. Banyak anak yang tumbuh cerdas secara teknologi, tetapi miskin makna hidup. Mereka mampu mencari informasi, tetapi tidak tahu bagaimana menilai kebenarannya. Mereka mahir berjejaring, tetapi kesulitan menjalin hubungan yang mendalam.

Cak Nur sering menekankan pentingnya rasionalitas religius—yakni kemampuan berpikir kritis dengan bimbingan nilai-nilai iman. Di era digital, kemampuan ini menjadi kunci ketahanan keluarga. Orang tua harus mampu menuntun anak untuk tidak sekadar melek digital, tetapi juga cerdas moral. Karena tantangan terbesar bukan hanya mengakses informasi, tetapi memilah yang benar dan bermanfaat.

Sebagaimana Al-Qur’an mengingatkan, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 36). Ayat ini relevan sekali dengan budaya “asal bagikan” di media sosial yang sering menjerumuskan banyak orang ke dalam hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian.

—-000—-

3. Tantangan Psikologis: Anak yang Tumbuh di Dua Dunia

Anak-anak generasi digital hidup di dua dunia: dunia nyata dan dunia maya. Mereka berinteraksi, bermain, bahkan belajar identitas diri di dunia daring. Namun sering kali, dunia digital menciptakan tekanan yang berat.

Banyak remaja mengalami kecemasan karena standar hidup yang dibentuk media sosial: harus cantik, populer, kaya, atau selalu bahagia. Mereka belajar membandingkan, bukan bersyukur. Di sinilah keluarga harus hadir sebagai pelabuhan emosi.

Cak Nur pernah mengatakan bahwa manusia modern cenderung kehilangan kebatinan. Hidup menjadi mekanistik dan dangkal. Padahal yang membedakan manusia dari mesin adalah kemampuannya untuk mencintai, berempati, dan menemukan makna.

Keluarga yang tangguh harus memulihkan dimensi batin itu. Caranya bukan dengan melarang anak menggunakan teknologi, tetapi mengajarkan cara sehat berinteraksi dengannya. Misalnya, dengan membuat waktu tanpa gawai setiap hari. Atau dengan membiasakan percakapan keluarga tentang apa yang mereka lihat di dunia maya. Dengan begitu, keluarga tetap menjadi tempat anak menambatkan realitas.

 

—-000—-

4. Orang Tua Digital: Menjadi Teladan yang baik

Dalam banyak keluarga, konflik muncul karena ketidakseimbangan pemahaman teknologi antara orang tua dan anak. Anak merasa lebih tahu, orang tua merasa kehilangan kontrol. Akibatnya, muncul dua ekstrem: larangan total atau kebebasan tanpa batas. Keduanya sama-sama tidak sehat.

Keluarga tangguh menempatkan teknologi sebagai sarana, bukan tuan. Orang tua perlu menjadi digital companion bagi anak. Artinya, bukan sekadar mengawasi, tetapi menemani. Misalnya, menonton konten bersama lalu berdiskusi tentang nilai yang terkandung di dalamnya. Atau membuat kesepakatan waktu penggunaan gawai yang disepakati bersama.

Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala hal. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.” (HR. Ahmad). Prinsip ini bisa diterapkan dalam mendidik anak digital: tidak ekstrem melarang, tidak pula membiarkan tanpa batas.

Selain itu, orang tua harus menjadi contoh. Anak-anak meniru, bukan mendengar. Jika ayah sibuk dengan ponsel saat makan malam, anak pun belajar bahwa layar lebih penting dari percakapan. Maka keteladanan adalah pendidikan paling efektif di zaman digital.

 

—-000—-

5. Nilai-nilai Islam Sebagai Kompas Moral

Cak Nur selalu menekankan bahwa Islam bukan sekadar sistem hukum, tetapi panduan nilai untuk membentuk manusia merdeka dan berakhlak. Nilai-nilai seperti amanah, ‘adl (keadilan), dan ihsan (kebaikan) harus dihidupkan dalam keluarga.

Dalam konteks digital, nilai amanah berarti tidak menyalahgunakan informasi, tidak menyebarkan kebohongan, dan menjaga privasi. Nilai ‘adl berarti memperlakukan semua orang secara adil di ruang maya, tidak melakukan perundungan atau ujaran kebencian. Sedangkan ihsan berarti menggunakan teknologi untuk menebar manfaat, bukan sekadar mencari kesenangan.

Keluarga yang tangguh menanamkan nilai-nilai itu secara nyata. Misalnya, dengan mengajak anak ikut dalam kegiatan sosial online, berdonasi, atau menulis konten positif. Dengan begitu, anak belajar bahwa teknologi bukan tempat melarikan diri dari kehidupan, tetapi alat untuk memperbaiki kehidupan.

—-000—-

6. Pendidikan Karakter di Rumah Digital

Pendidikan karakter tidak bisa lagi dipisahkan dari literasi digital. Anak-anak perlu dibekali keterampilan berpikir kritis, empati, dan etika digital. Ini bukan tugas sekolah semata, tetapi dimulai dari rumah.

Orang tua bisa memulainya dengan hal sederhana: mengajarkan sopan santun dalam berkomentar, menghargai pendapat orang lain, dan tidak tergoda ikut arus viral yang merugikan. Setiap kali anak menggunakan media sosial, sesungguhnya ia sedang membentuk reputasi dirinya.

Al-Qur’an memberi panduan yang indah dalam hal ini: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku agar mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra: 53).

Ayat ini menegaskan pentingnya etiket digital yang bersumber dari akhlak Qur’ani. Maka, literasi digital seharusnya dipadukan dengan literasi spiritual. Anak yang cerdas digital tanpa bimbingan moral bisa tersesat dalam kebebasan semu dunia maya.

 

—-000—-

7. Menata Ulang Fungsi Keluarga di Era Baru

Keluarga di era digital harus menyesuaikan cara hidupnya tanpa kehilangan jati diri. Ada tiga fungsi utama yang perlu ditegaskan kembali.

Pertama, fungsi spiritual dan moral: keluarga menanamkan nilai-nilai iman dan adab dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dengan ceramah, tetapi dengan praktik nyata, seperti berdoa bersama, saling memaafkan, berbagi tugas rumah, dan menghargai waktu bersama.

Kedua, fungsi komunikasi dan kasih sayang: keluarga menjadi tempat setiap anggota merasa didengar dan diterima. Komunikasi hangat lebih penting daripada fasilitas mewah.

Ketiga, fungsi pembelajaran dan keteladanan: keluarga menjadi tempat anak belajar menghadapi tantangan hidup. Orang tua harus jujur tentang kesalahan, terbuka pada perubahan, dan siap belajar bersama anak-anaknya.

Dengan tiga fungsi ini, keluarga diharapkan tidak akan hanyut dalam arus digital, tetapi menjadi nahkoda yang menuntun arah generasi baru.

 

—-000—-

8. Menuju Keluarga Tangguh: Dari Nilai ke Aksi

Keluarga tangguh bukan dibentuk oleh kecanggihan teknologi, tetapi oleh kekuatan nilai. Untuk mewujudkannya, ada beberapa langkah konkret:

a. Bangun rutinitas bersama. Makan malam tanpa gawai, shalat berjamaah, atau kegiatan akhir pekan tanpa layar memperkuat ikatan batin.
b. Buat kesepakatan digital keluarga. Atur waktu dan cara penggunaan perangkat, disepakati bersama tanpa paksaan.
c. Kembangkan dialog terbuka. Ajak anak bicara tentang apa yang mereka lihat di dunia maya. Jadikan ruang digital sebagai bahan refleksi, bukan konflik.
d. Gunakan teknologi untuk kebaikan. Dorong anak membuat karya positif seperti video edukatif, tulisan inspiratif, atau kegiatan sosial daring.
e. Perkuat spiritualitas. Jadikan ajaran Islam sebagai fondasi, bukan formalitas. Iman yang hidup akan menuntun sikap bijak dalam dunia digital.

Cak Nur pernah menulis bahwa agama harus hadir sebagai pencerahan, bukan beban. Prinsip itu juga berlaku dalam keluarga. Agama yang hidup dalam keseharian yang penuh kasih, terbuka pada ilmu, dan menumbuhkan kemanusiaan, hingga akan menjadikan keluarga sebagai sumber kekuatan moral di tengah perubahan zaman.

 

—-000—-

Penutup

Era digital memang membawa banyak risiko, tetapi juga peluang besar. Keluarga yang mampu menjaga nilai akan memetik manfaat teknologi tanpa kehilangan jati diri. Sebaliknya, keluarga yang lalai akan kehilangan arah di tengah derasnya arus informasi.

Keluarga tangguh bukan keluarga yang sempurna, tetapi keluarga yang terus belajar. Mereka mungkin goyah, tetapi tidak menyerah. Mereka berani berubah, tanpa kehilangan akar.

Sebagaimana doa Al-Qur’an yang indah: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).

Inilah cita-cita keluarga Islam di era digital: menjadi sumber ketenangan, cahaya nilai, dan benteng moral bagi generasi yang akan datang.

 

Wallahu a’lamu

Previous Post

Hukum Berbohong bagi seorang NPD (Bagian 2)

Next Post

Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Citra

Next Post

Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Citra

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Pemimpin yang Haus Pujian: Bahaya Narsisisme dalam Kepemimpinan Publik
  • Pemimpin yang Tak Pernah Salah: Menyelami Kepribadian Narsistik di Balik Wajah Kekuasaan
  • Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Citra
  • Keluarga Tangguh di Era Digital: Menjaga Nilai, Menata Generasi
  • Hukum Berbohong bagi seorang NPD (Bagian 2)

Recent Comments

No comments to show.
RLI

© 2024 RLI

Navigate Site

  • Home Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO

© 2024 RLI