RLI
Tuesday, October 7, 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
No Result
View All Result
RLI
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Pemimpin yang Haus Pujian: Bahaya Narsisisme dalam Kepemimpinan Publik

Admin by Admin
October 6, 2025
in Uncategorized
0 0
0
0
SHARES
2
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan di Lembaga Pendidikan Islam. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi.

===000===

Di negeri ini, jabatan sering kali lebih dimaknai sebagai kehormatan daripada tanggung jawab. Banyak orang berebut kekuasaan bukan karena ingin mengabdi, tetapi karena ingin diakui. Mereka ingin dikenal, difoto, dipuji, dan disanjung. Dalam dunia psikologi, kecenderungan seperti ini disebut narsisisme. Dalam politik dan birokrasi, narsisisme bisa menjelma menjadi penyakit sosial yang berbahaya.

Pemimpin narsistik adalah orang yang sangat membutuhkan kekaguman. Ia merasa harus selalu terlihat hebat, cerdas, dan tak pernah salah. Kritik dianggap ancaman. Masukan dipandang sebagai serangan. Ia membangun citra kepemimpinan, tapi bukan kepemimpinan yang melayani, melainkan yang dipuja. Ia ingin disebut visioner, meskipun visinya hanya untuk dirinya sendiri.

Cak Nur pernah berkata bahwa “pemimpin sejati bukan yang mencari penghormatan, tapi yang memberi keteladanan.” Kalimat itu terasa semakin relevan hari ini, ketika banyak pejabat sibuk mengatur pencitraan, sementara pelayanan publik terbengkalai. Dalam dunia yang serba visual, citra sering lebih penting daripada substansi. Orang lebih peduli bagaimana terlihat di media daripada bagaimana bekerja di lapangan.

Kita sering melihat bagaimana pejabat menempelkan wajahnya di setiap spanduk, baliho, atau laporan kegiatan. Bahkan kegiatan sosial pun tak luput dari tanda tangan dan foto besar di sudut atas. Ia seolah berkata, “Lihat, ini hasil kerja saya.” Padahal, kerja publik bukan milik pribadi. Ia adalah amanah kolektif. Tetapi bagi pemimpin narsistik, semua prestasi harus kembali padanya, seolah tanpa dirinya, tidak ada yang berjalan.

Pemimpin seperti ini hidup dari pujian. Bila ia datang ke acara dan tidak disambut dengan tepuk tangan, ia kecewa. Bila media tidak menulis keberhasilannya, ia marah. Ia menilai loyalitas bawahan bukan dari kerja, tapi dari seberapa sering mereka memuji dan membenarkan semua keputusannya. Dalam lingkungan seperti ini, orang jujur dianggap pembangkang, sementara penjilat dianggap setia.

Narsisisme dalam kepemimpinan publik punya ciri yang mudah dikenali. Pertama, ia selalu berbicara tentang dirinya. Setiap rapat, setiap pidato, selalu dimulai dengan kisah “saya”. Ia mengaku paling memahami persoalan rakyat, paling tahu cara menyelesaikannya, dan paling layak dipertahankan. Kedua, ia tidak tahan dikritik. Kritik dianggap penghinaan. Ketiga, ia haus perhatian. Bila tidak diberi ruang tampil, ia akan menciptakannya sendiri, entah lewat media sosial, acara seremonial, atau pernyataan kontroversial.

Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah. Nabi bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Amanah ini bukan untuk dihiasi dengan pujian, tapi untuk dijalankan dengan tanggung jawab. Karena itu, pemimpin yang terlalu sibuk mencari pengakuan sejatinya sudah kehilangan arah spiritual dari kekuasaan. Ia lupa bahwa jabatan hanyalah sarana, bukan tujuan.

Fenomena ini makin terasa di era digital. Banyak pejabat menjadikan media sosial sebagai panggung narsisme. Alih-alih menjadi sarana transparansi, media sosial berubah menjadi arena pamer kebaikan. Foto memberi bantuan, video meninjau banjir, unggahan memimpin rapat, yang kesemuanya dikemas seperti film dokumenter tentang diri sendiri. Publik diperlakukan seperti penonton, bukan mitra. Padahal kepemimpinan sejati justru hadir dalam diam: bekerja, melayani, tanpa banyak bicara.

Kita juga sering menjumpai pejabat yang menyusun laporan dengan bahasa berlebihan: “Program ini sukses besar berkat arahan dan kepemimpinan Bapak.” Kalimat semacam itu tidak sekadar basa-basi. Ia menunjukkan struktur kekuasaan yang tidak sehat. Karena pemimpin narsistik menuntut pengakuan terus-menerus, bawahannya belajar untuk memujinya, bukan mengingatkannya. Maka, sistem yang lahir pun menjadi sistem penyesatan kolektif. Data dimanipulasi, capaian dilebihkan, masalah disembunyikan. Semuanya demi menjaga “wajah” pemimpin.

Cak Nur dalam banyak tulisannya menekankan pentingnya “keadaban publik” , yaitu sebuah tata nilai yang menempatkan kejujuran, tanggung jawab, dan keteladanan sebagai inti kekuasaan. Ia percaya bahwa kemajuan bangsa tidak ditentukan oleh banyaknya proyek, tapi oleh moralitas pemimpinnya. Dalam konteks ini, narsisisme adalah lawan dari keadaban. Karena ia menolak introspeksi, dan tanpa introspeksi tidak ada kemajuan.

Pemimpin narsistik juga memiliki cara unik dalam mengelola bawahan. Ia lebih suka orang yang menuruti perintah tanpa banyak bertanya. Ia tidak membentuk tim, tetapi pengikut. Ia bukan membangun sistem, tetapi panggung. Setiap keberhasilan organisasi diklaim sebagai hasil visinya, tapi setiap kegagalan dilemparkan pada bawahan. Padahal, Rasulullah memberi contoh sebaliknya. Ketika perang Uhud berakhir pahit, beliau tidak menyalahkan pasukan yang lalai, tetapi menanggung tanggung jawab bersama.

Contoh sederhana dari narsisisme dalam birokrasi bisa kita temukan di banyak tempat. Misalnya, seorang kepala daerah yang lebih sibuk merancang acara peresmian daripada memantau proyek yang belum selesai. Ia ingin tampil di depan kamera, memotong pita, dan memberikan sambutan panjang. Sementara warga yang terdampak pembangunan belum menerima manfaat apa-apa. Atau seorang rektor yang menuntut civitas akademika terus mengunggah pujian di media sosial setiap kali kampus mendapat penghargaan, padahal penghargaan itu hasil kerja banyak orang.

Sikap seperti ini menciptakan budaya kerja yang tidak sehat. Orang mulai takut bicara jujur. Laporan dibuat sesuai selera atasan. Rapat hanya untuk mendengar pujian, bukan mencari solusi. Akibatnya, organisasi kehilangan arah moral. Semua berjalan seperti sandiwara yang berulang, di mana semua pemain tahu bahwa panggung itu palsu, tapi tetap bermain agar tidak dimarahi sutradara.

Dalam jangka panjang, narsisisme dalam kepemimpinan publik bisa menggerogoti kepercayaan masyarakat. Rakyat mulai skeptis terhadap setiap janji, karena yang terlihat hanya citra. Mereka melihat pejabat datang saat kamera menyala, lalu menghilang ketika kamera mati. Ini membuat jurang antara pemimpin dan rakyat semakin lebar.

Padahal, kepemimpinan yang baik selalu lahir dari empati, bukan ambisi. Seorang pemimpin sejati tidak butuh pujian karena ia tahu bahwa pujian sejati datang dari hasil kerja nyata, bukan kata-kata. Ia lebih senang mendengar kritik karena di sanalah peluang perbaikan. Ia tidak menuntut loyalitas pribadi, tapi dedikasi terhadap kebenaran.

Dalam pandangan Islam, kerendahan hati adalah tanda kekuatan batin. Nabi Muhammad SAW, meskipun manusia paling mulia, tetap hidup sederhana. Beliau tidak membangun citra, tidak mencari sanjungan. Ketika seseorang menyebutnya “Sayyiduna”, beliau menjawab, “Sayyid itu Allah.” Itulah puncak kerendahan hati yang tidak mungkin dicapai oleh orang narsistik, karena baginya, kekuasaan adalah alat pembesaran diri.

Cak Nur sering mengutip ayat, “Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18). Ayat ini bukan hanya menegur perilaku individual, tapi juga mengingatkan pemimpin agar tidak memperlakukan kekuasaan sebagai panggung kebesaran. Karena kesombongan politik pada akhirnya hanya akan menimbulkan kehancuran moral bangsa.

Sikap haus pujian membuat pemimpin kehilangan orientasi pelayanan. Ia memandang keberhasilan dari seberapa sering ia dipuji, bukan dari seberapa besar rakyat terbantu. Ia merasa bekerja keras bila mendapat sorotan media, padahal banyak hal penting yang justru tidak pernah masuk berita. Dalam Islam, amal yang tidak ikhlas seperti ini tidak bernilai di sisi Allah. Amal baik berubah menjadi alat pencitraan.

Maka, bahaya terbesar dari narsisisme publik bukan hanya pada diri pemimpin, tetapi pada masyarakat yang menirunya. Ketika rakyat melihat bahwa yang naik jabatan adalah penjilat, yang disukai adalah pemuji, dan yang dihukum adalah pengkritik, maka budaya kejujuran mati pelan-pelan. Orang belajar untuk tidak bicara jujur. Mereka belajar bahwa lebih aman menjadi pengikut daripada penegur.

Cak Nur mengingatkan bahwa kebangkitan bangsa selalu dimulai dari keberanian moral. Keberanian untuk berkata benar, sekalipun kepada penguasa. Karena itu, yang dibutuhkan bangsa ini bukan pemimpin yang haus pujian, tetapi pemimpin yang sanggup menahan diri dari pujian. Pemimpin yang tidak takut terlihat biasa-biasa saja, selama ia bekerja luar biasa untuk kepentingan rakyatnya.

Kita membutuhkan pemimpin yang menghidupkan budaya malu-malu bila berbohong, malu bila gagal menepati janji, malu bila lebih banyak bicara daripada bekerja. Budaya malu inilah yang menahan kekuasaan agar tidak tergelincir menjadi narsistik.

Kekuasaan, bila tidak disertai kesadaran spiritual, akan melahirkan kesombongan. Dan kesombongan politik adalah awal dari kejatuhan moral. Karena itu, setiap pemimpin perlu terus bertanya pada dirinya: apakah saya bekerja untuk rakyat, atau untuk diri saya sendiri? Apakah saya mencari ridha Allah, atau ridha publik?

Jawaban atas pertanyaan itu menentukan nilai kepemimpinan di mata sejarah. Karena di ujung semua kekuasaan, hanya kejujuran yang akan dikenang. Selebihnya, pujian akan hilang bersama masa jabatan.

Sebagaimana Cak Nur pernah menulis, “Kekuasaan adalah ujian bagi keikhlasan. Bila kita memegangnya untuk melayani, ia menjadi berkah. Tapi bila kita memegangnya untuk dipuja, ia menjadi kutukan.”

Dan di negeri yang masih haus keteladanan ini, barangkali doa paling sederhana yang bisa kita panjatkan adalah: semoga Allah melindungi bangsa ini dari pemimpin yang terlalu mencintai dirinya sendiri.

Previous Post

Pemimpin yang Tak Pernah Salah: Menyelami Kepribadian Narsistik di Balik Wajah Kekuasaan

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Pemimpin yang Haus Pujian: Bahaya Narsisisme dalam Kepemimpinan Publik
  • Pemimpin yang Tak Pernah Salah: Menyelami Kepribadian Narsistik di Balik Wajah Kekuasaan
  • Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Citra
  • Keluarga Tangguh di Era Digital: Menjaga Nilai, Menata Generasi
  • Hukum Berbohong bagi seorang NPD (Bagian 2)

Recent Comments

No comments to show.
RLI

© 2024 RLI

Navigate Site

  • Home Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO

© 2024 RLI