Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Akademisi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan di Lembaga Pendidikan Islam. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi.
Salah satu ciri yang menonjol pada orang dengan kepribadian narsistik adalah kebiasaannya menutupi fakta. Ia tidak berbohong karena ingin menipu, melainkan karena takut tampak lemah. Ia ingin selalu terlihat sempurna. Baginya, kebenaran bisa diatur sesuai kebutuhan, asal citranya tetap utuh.
Dalam pandangan Islam, berbohong adalah dosa besar. Rasulullah SAW menegaskan, “Hendaklah kalian jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Hindarilah dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, bagi seorang narsisis, dusta sering dibungkus dengan alasan “demi kebaikan”, “demi menjaga nama baik”, atau “demi menjaga keharmonisan”. Padahal, di balik semua itu ada ketakutan besar: takut kehilangan kekaguman orang lain.
Contoh sederhana bisa kita lihat di lingkungan kerja atau organisasi. Seorang pimpinan lembaga, misalnya, bisa saja menyembunyikan data keuangan yang tidak sesuai, lalu menyampaikan laporan palsu agar terlihat berhasil. Ia tak mau reputasinya tercoreng, walau harus memanipulasi angka. Di rumah, seorang ayah bisa membohongi anak-anaknya tentang kegagalannya mencari pekerjaan, lalu berpura-pura masih bekerja setiap pagi. Di dunia pendidikan, seorang dosen bisa menolak mengakui kesalahan penulisan atau hasil riset, hanya karena takut dianggap tidak kompeten.
Bohong, dalam kasus ini, bukan sekadar kata yang menyalahi fakta. Ia adalah benteng pertahanan ego. Narsisis tidak berbohong karena tidak tahu kebenaran, melainkan karena tidak siap menerimanya. Ia menganggap kebenaran yang merendahkan dirinya lebih berbahaya daripada kebohongan yang menenangkan hati.
Al-Qur’an mengingatkan, “Dan janganlah kamu campuradukkan yang benar dengan yang batil, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 42). Ayat ini tidak hanya berbicara pada orang-orang kafir yang menutupi wahyu, tetapi juga kepada setiap manusia yang, karena kepentingan diri, menukar kebenaran dengan kebohongan.
Di sinilah bahaya sejati dari kepribadian narsistik. Ketika seseorang terlalu mencintai citra dirinya, ia mulai kehilangan arah moral. Ia tak lagi peduli mana benar mana salah, selama semua orang tetap melihatnya sebagai sosok yang hebat. Dalam jangka panjang, perilaku ini menghancurkan integritas pribadi dan kepercayaan sosial.
Masyarakat kehilangan figur yang bisa dipercaya. Karyawan kehilangan pemimpin yang bisa diteladani. Murid kehilangan guru yang bisa diandalkan. Dan di puncak semuanya, sang narsisis kehilangan dirinya sendiri, karena hidupnya terus-menerus dalam kepalsuan.
Prof. Quraish Shihab sering mengingatkan dalam tafsirnya, bahwa kejujuran adalah cahaya yang menuntun manusia menuju kedamaian. Cahaya itu tidak bisa berdampingan dengan kebohongan, karena kebohongan menimbulkan kegelapan hati. Orang yang terbiasa menipu dirinya sendiri akan kehilangan kemampuan membedakan antara cahaya dan bayangan.
Maka, bila seseorang terus berbohong demi menjaga citra, sesungguhnya ia sedang merusak dirinya perlahan-lahan. Ia mungkin terlihat kuat, namun batinnya rapuh. Ia mungkin tampak berwibawa, namun jiwanya kosong.
Kebenaran tidak selalu menyenangkan, tetapi hanya dengan kebenaran seseorang bisa hidup tenang.