Hukum Berbohong bagi Seorang NPD
(Bagian 2)
Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha
Direktur Eksekutif Perkumpulan Peneliti dan Pegiat Literasi (Research and Literacy Institute). Dosen, Peneliti dan Pengabdi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan di Lembaga Pendidikan Islam. Saat ini sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi.
—–
Berbohong adalah perilaku yang sudah menjadi bagian dari sejarah manusia. Sejak kisah pertama di surga, manusia dihadapkan pada tipu daya iblis yang membungkus kebohongan dengan bujuk rayu. Karena itu, agama memberi peringatan keras terhadap dusta. Nabi bersabda, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Sedangkan kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun ketika kebohongan bukan lagi sekadar dosa sesekali, melainkan menjadi kebiasaan psikologis, di situlah masalahnya menjadi lebih dalam. Dalam dunia psikologi modern, kita mengenal istilah Narcissistic Personality Disorder (NPD), gangguan kepribadian yang ditandai oleh kebutuhan berlebihan akan kekaguman, rasa penting diri yang tinggi, dan kurangnya empati terhadap orang lain. Salah satu perilaku yang paling sering muncul pada orang dengan NPD adalah berbohong. Tapi bohong mereka bukan seperti kebohongan biasa. Ia lahir dari kebutuhan untuk mempertahankan citra diri yang rapuh.
Seorang narsistik sering menciptakan versi realitas yang berbeda dari kenyataan. Ia menyesuaikan cerita agar tetap tampak benar, hebat, atau berkuasa. Dalam bahasa agama, ini bukan sekadar dosa kecil, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap amanah kebenaran. Allah memerintahkan dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119). Ayat ini tidak hanya mengajak untuk berkata benar, tapi juga hidup di tengah kejujuran. Artinya, kejujuran bukan sekadar tindakan, melainkan atmosfer batin.
Seseorang dengan NPD sulit hidup dalam atmosfer seperti itu. Ia merasa kebenaran terlalu menelanjangi dirinya. Maka kebohongan menjadi pelindung, topeng psikologis. Misalnya, seorang pemimpin lembaga yang narsistik sering mengklaim telah berhasil menaikkan prestasi sekolah atau organisasi, padahal data tidak mendukung. Ketika dikritik, ia tidak menanggapi dengan rendah hati, tetapi justru menyerang balik. “Kalian tidak tahu perjuangan saya!” katanya. Ia mengganti fakta dengan narasi emosional agar tetap tampak hebat.
Dalam kehidupan sosial, bentuk kebohongan seperti ini sering tampak sepele. Ada guru yang melaporkan kegiatan seolah-olah berjalan sukses, padahal peserta didik tidak hadir penuh. Ada pejabat yang menyebut angka kehadiran atau anggaran dengan tambahan kecil demi “menjaga citra lembaga.” Ada juga dosen atau peneliti yang menulis hasil penelitian tidak sesuai fakta lapangan agar terlihat berhasil. Semua itu bentuk kebohongan yang, dalam istilah Cak Nur, “membusukkan ruh keilmuan dan keikhlasan.”
Cak Nur sering mengingatkan bahwa kejujuran adalah syarat dari ilmu dan iman. “Tidak ada ilmu tanpa kejujuran,” katanya, “dan tidak ada iman tanpa keterbukaan kepada kebenaran.” Maka, kebohongan bagi seorang narsistik bukan hanya gangguan moral, tapi juga penghalang spiritual. Ia menutup jalan kebenaran, bukan karena tidak tahu, tetapi karena tidak mau tahu.
Dalam psikologi, kebohongan narsistik disebut sebagai “self-serving lie”, kebohongan yang berfungsi melindungi ego. Ketika seorang narsistik gagal, ia tidak bisa mengakuinya. Ia akan mencari kambing hitam atau mengubah narasi agar tampak tetap benar. Misalnya, seorang kepala sekolah yang proyeknya gagal karena perencanaan buruk, akan berkata, “Saya sudah kerja keras, tapi staf saya tidak kompeten.” Padahal, kesalahannya ada pada manajemen yang tidak transparan. Dalam Islam, sikap ini disebut “takabbur”, menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan jangan kamu sembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42). Ayat ini menggambarkan perilaku yang sering dilakukan orang narsistik. Ia mencampuradukkan antara fakta dan opini pribadi. Ia tahu kebenaran, tapi tidak berani mengakuinya karena takut kehilangan kekuasaan atau citra.
Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak. Seorang karyawan dengan kecenderungan narsistik bisa saja memberikan laporan yang tidak sesuai fakta. Misalnya, ia menulis bahwa ia sudah menyelesaikan tugas tepat waktu, padahal sebagian besar dikerjakan oleh rekan kerjanya. Ia melakukan itu agar tetap terlihat paling berprestasi. Dalam situasi lain, seorang tokoh masyarakat bisa saja berbohong tentang donasi, mengatakan bantuan sudah disalurkan semua, padahal sebagian masih dipegang karena alasan administrasi.
Kebohongan yang diulang-ulang membuat seseorang kehilangan rasa bersalah. Ini yang berbahaya. Ia mulai percaya pada kebohongannya sendiri. Dalam psikologi disebut “narcissistic delusion”, keyakinan semu bahwa dirinya benar dan orang lain salah. Dalam pandangan agama, ini penyakit hati yang sangat berbahaya, lebih berat daripada kesalahan moral biasa. Rasulullah mengingatkan, “Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Munafik bukan hanya masalah akidah, tapi juga kepribadian. Dalam konteks modern, seorang narsistik bisa jatuh pada kemunafikan sosial. Ia tampil saleh, tapi berbohong. Ia bicara integritas, tapi menyembunyikan fakta. Ia berdoa di depan orang, tapi menipu di belakang meja.
Padahal, kejujuran tidak membutuhkan panggung. Ia hanya butuh hati yang bersih. Cak Nur pernah mengatakan, “Keimanan tidak akan tumbuh di hati yang terbiasa menipu.” Karena itu, melatih diri untuk jujur adalah bagian dari jihad melawan diri sendiri. Bagi seorang narsistik, jihad ini paling berat karena yang ia lawan adalah bayangan dirinya sendiri.
Di banyak lembaga pendidikan atau organisasi, kebohongan sering dibungkus dengan alasan “demi kebaikan”. Seorang kepala sekolah mungkin berkata, “Kita tulis saja sudah 90 persen peserta hadir, supaya dinilai baik oleh atasan.” Padahal, 60 persen pun belum. Alasan ini tampak ringan, tapi sebenarnya bentuk ketidakjujuran sistemik. Bila terus dibiarkan, ia membentuk budaya organisasi yang narsistik: semua terlihat indah di laporan, tapi rapuh di kenyataan.
Islam mengajarkan bahwa kebenaran bukan hanya soal ucapan, tapi juga niat dan tindakan. Allah memuji orang yang jujur bukan karena mereka selalu benar, tapi karena mereka tidak menutup-nutupi kesalahan. Seorang dengan NPD sulit melakukan ini karena mengakui kesalahan berarti mengancam citra dirinya. Dalam istilah Cak Nur, ia belum “merdeka dari ego”.
Kebohongan yang terus-menerus bukan hanya merusak hubungan sosial, tapi juga menghancurkan struktur batin seseorang. Ia hidup dalam kecemasan, takut terbongkar, takut kehilangan kendali. Dalam jangka panjang, ia kehilangan kepekaan moral. Ia bisa berbohong sambil tersenyum. Ia bisa memutarbalikkan fakta sambil merasa benar. Ini yang membuat orang-orang di sekitarnya lelah dan kehilangan kepercayaan.
Dalam masyarakat yang sehat, kejujuran menjadi fondasi. Namun bila banyak orang narsistik berkuasa, kebohongan menjadi budaya. Rapat lebih sibuk mencari kambing hitam daripada solusi. Laporan lebih banyak menghias prestasi daripada mengevaluasi kekurangan. Di titik ini, agama kehilangan makna sosialnya. Ibadah berjalan, tapi nilai kejujuran mati.
Dalam pandangan Cak Nur, agama seharusnya menjadi energi moral yang membebaskan manusia dari kepalsuan. “Agama bukan kosmetik bagi wajah sosial,” katanya, “tetapi cermin yang menunjukkan wajah sejati kita.” Bila seseorang terus berbohong, berarti ia menolak bercermin. Ia takut melihat dirinya sendiri.
Maka, hukum berbohong bagi seorang NPD bukan sekadar dosa pribadi, tapi bentuk pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan yang diajarkan Islam. Dusta menutup hati, menumpulkan akal, dan menghapus rasa empati. Ia menjauhkan manusia dari Allah karena Allah adalah al-Haqq, Sang Kebenaran.
Untuk melawan kecenderungan ini, seseorang harus berani menghadapi kenyataan, seburuk apa pun. Ia harus belajar mengakui kesalahan tanpa merasa harga dirinya runtuh. Dalam terapi psikologi, ini disebut “self-acceptance”, menerima diri apa adanya. Dalam spiritualitas Islam, ini disebut “tazkiyah an-nafs”, penyucian jiwa. Keduanya sama-sama bertujuan membebaskan manusia dari tirani ego.
Jika Anda pernah tergoda untuk memoles fakta agar terlihat lebih baik, ingatlah bahwa setiap kebohongan sekecil apa pun meninggalkan noda di hati. Ia mungkin tidak terlihat, tapi terus menumpuk. Lama-lama, hati kehilangan kejernihannya. Nabi mengingatkan, “Apabila seorang hamba berbuat dosa, maka titik hitam akan menodai hatinya. Jika ia bertobat, maka hatinya kembali bersih.” (HR. Tirmidzi).
Kejujuran memang tidak selalu menguntungkan secara duniawi. Ia kadang membuat kita dikritik, kehilangan simpati, atau tidak dipuji. Tapi kejujuran membuat jiwa tenang. Dan jiwa yang tenang adalah tanda keberhasilan spiritual. Seorang narsistik tidak akan pernah tenang selama hidup dalam kebohongan, karena ia sibuk mempertahankan bayangan diri, bukan memperbaiki diri.
Kita mungkin tidak bisa mengubah orang lain, apalagi mereka yang memiliki gangguan kepribadian. Tapi kita bisa mulai dari diri sendiri: berhenti memoles fakta, berhenti memanipulasi cerita, berhenti menipu atas nama citra. Karena seperti kata Cak Nur, “Kebenaran mungkin tidak selalu membuat kita menang, tapi pasti membuat kita merdeka.”
Dan kemerdekaan itu hanya milik orang yang berani jujur, meski di hadapan dirinya sendiri.
_Wallahu a’lam_