RLI
Tuesday, October 7, 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO
No Result
View All Result
RLI
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Hukum Berbohong bagi Seorang NPD (Bagian 1)

Admin by Admin
October 5, 2025
in Uncategorized
0 0
0
0
SHARES
322
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Hukum Berbohong bagi Seorang NPD

(Bagian 1)

 

Oleh: Mulyawan Safwandy Nugraha

Direktur Perkumpulan Peneliti dan Pegiat Literasi (Research and Literacy Institute). Saat ini sebagai Dosen, Peneliti, dan Pengabdi dengan fokus kajian pada Kepemimpinan di Lembaga Pendidikan Islam. Penulis sedang gandrung mengkaji Nilai-Nilai Islam dan psikologi dalam kepemimpinan. Home base di UIN SGD Bandung, dan berkhidmat di beberapa PTKIS di Sukabumi.

 

—

Ketika saya masih kuliah tiga puluh tahun lalu, seorang dosen metode penelitian pernah berpesan, “Peneliti boleh salah, tapi tidak boleh bohong.” Kalimat itu sederhana, tapi menancap dalam ingatan saya. Ia seperti batu nisan kecil dalam ingatan moral. Salah adalah bagian dari manusia. Tapi bohong, itu pilihan sadar untuk memutarbalikkan kenyataan.

 

Dalam agama, bohong disebut kadzib. Lawannya adalah shidq, kebenaran. Allah memerintahkan manusia untuk berkata benar. Dalam Surah At-Taubah ayat 119, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang benar.” Ayat itu menegaskan bahwa kebenaran bukan hanya ucapan, tapi posisi moral. Kita diminta “bersama orang-orang yang benar”, artinya menempatkan diri di barisan mereka yang tidak memanipulasi realitas.

 

Dalam hadis sahih, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia ingkar; jika dipercaya, ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini bukan sekadar daftar perilaku buruk. Ia cermin yang menunjukkan bagaimana dusta bisa menjadi akar dari kemunafikan. Bohong bukan sekadar kesalahan komunikasi, tapi penipuan terhadap nurani.

 

—

Bila kita bicara tentang orang dengan Narcissistic Personality Disorder (NPD), kita berbicara tentang individu yang sering hidup dalam benturan antara kenyataan dan citra. Mereka membangun dunia yang disusun dari bayangan diri yang harus dikagumi, dipuji, dan diyakini hebat. Dalam dunia itu, kebenaran sering dianggap musuh. Sebab kebenaran bisa mengancam citra.

 

Namun dalam pandangan Islam, kejujuran bukan hanya urusan sosial, melainkan juga urusan iman. Bohong bukan hanya salah karena merugikan orang lain, tapi karena ia menodai hubungan seseorang dengan Allah. Nabi bersabda, “Hendaklah kalian berkata benar, karena kebenaran membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa ke surga.” (HR. Bukhari). Maka ketika seseorang memilih berbohong untuk melindungi dirinya, sesungguhnya ia sedang menjauh dari rahmat.

 

Dalam konteks ini, seorang dengan kecenderungan narsistik sebenarnya sedang menipu dua pihak sekaligus: dirinya dan Tuhan. Ia berusaha meyakinkan orang lain bahwa dirinya sempurna, padahal hatinya penuh ketakutan akan kelemahan. Ia juga berusaha menyembunyikan dari Tuhan hal-hal yang tak mungkin disembunyikan. Padahal, dalam Al-Qur’an disebut, “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan.” (An-Nahl: 19).

 

—

Cak Nur sering menulis tentang “iman yang rasional dan moral”. Ia menolak agama yang berhenti pada simbol dan retorika. Menurutnya, iman sejati adalah kesadaran moral yang membimbing manusia untuk jujur kepada dirinya sendiri dan kepada realitas. Dalam sebuah ceramah, Cak Nur pernah mengutip ungkapan sufi: “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.” Maka kebohongan, bagi seorang mukmin, bukan hanya dosa, tapi penghalang pengetahuan.

 

Berbohong artinya menolak mengenali diri. Dan ketika seseorang tidak mengenali dirinya, bagaimana mungkin ia mengenal Tuhan? Orang narsistik menolak melihat bayangan sejatinya. Ia menatap cermin, tapi yang ia lihat bukan wajahnya, melainkan topeng yang ia bentuk dari pujian orang lain. Ia hidup dari pantulan, bukan dari cahaya.

 

Di sinilah letak bahaya spiritual dari kebohongan. Bohong bukan hanya tentang ucapan yang salah, tapi tentang cara hidup yang tidak selaras dengan kenyataan. Dalam bahasa Cak Nur, itu adalah “pembusukan makna iman.” Iman seharusnya membuat manusia terbuka pada kebenaran. Tapi bohong menutup jalan itu. Ia menjauhkan manusia dari haqq, dari kebenaran hakiki yang menjadi inti agama.

 

—

Mari kita lihat dari perspektif moral Islam. Dalam fikih, bohong termasuk dosa besar bila dilakukan dengan niat menipu, merugikan, atau menutupi kebenaran yang seharusnya diungkap. Para ulama mengkategorikan dusta sebagai maksiat yang merusak tatanan sosial. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa dusta adalah “pengkhianatan terhadap akal dan lidah.” Ia menulis, “Kebenaran adalah kesesuaian antara yang diucapkan dengan yang diyakini. Dusta adalah kebalikannya.”

 

Bagi Al-Ghazali, akar dusta ada pada penyakit hati: cinta dunia, ambisi, dan keinginan untuk dipuji. Tiga hal itu pula yang menjadi inti dari kepribadian narsistik. Orang narsistik berbohong bukan karena ingin menghancurkan orang lain, tetapi karena takut kehilangan rasa dikagumi. Ia takut tampak kecil. Maka ia menambah, memperindah, menutupi. Ia merias fakta agar sesuai dengan citra yang ingin ia tunjukkan.

 

Tapi justru di situlah kehancurannya. Sebab, seperti kata Al-Ghazali lagi, “Setiap kebohongan akan menumbuhkan kebohongan lain, hingga akhirnya seseorang tidak lagi mampu membedakan antara yang benar dan yang palsu.” Ini yang membuat seorang NPD hidup dalam lingkaran tipuan yang ia buat sendiri.

 

—

Dalam pandangan tasawuf, kebohongan adalah hijab, tirai yang menutupi cahaya kebenaran dalam hati. Syaikh Ibn ‘Athaillah dalam Al-Hikam menulis, “Kebenaran adalah cahaya, dan kebohongan adalah kegelapan. Bagaimana mungkin hati yang gelap bisa melihat kebenaran?” Bila seseorang terus memelihara kebohongan, hatinya menjadi buram. Ia tidak lagi mampu membedakan mana yang datang dari Tuhan dan mana yang datang dari egonya.

 

Bagi seorang narsistik, ini menjadi tragedi spiritual. Ia mungkin fasih berbicara tentang moral, agama, atau kepemimpinan, tapi batinnya rapuh. Bohong telah menjadi bagian dari mekanisme pertahanannya. Ia hidup di antara dua dunia: dunia nyata yang penuh ancaman, dan dunia imajiner di mana ia selalu benar.

 

Islam tidak mengajarkan manusia untuk hidup dalam penyangkalan. Nabi tidak pernah memerintahkan umatnya untuk terlihat hebat. Justru beliau mengajarkan kerendahan hati dan kejujuran, bahkan ketika itu memalukan. Dalam sebuah riwayat, ketika seorang sahabat mengaku telah melakukan dosa besar, Nabi tidak menghukumnya dengan murka. Beliau memuji kejujurannya. Karena dalam Islam, mengakui kebenaran lebih mulia daripada menutupi dengan dusta.

 

—

Cak Nur pernah mengatakan, “Agama itu bukan untuk membuat manusia terlihat baik, tapi untuk membuat manusia menjadi baik.” Ini penting. Karena banyak orang yang memakai agama sebagai topeng moral. Mereka tampak saleh, tapi tidak jujur. Mereka fasih berbicara tentang Tuhan, tapi diam-diam menyembah egonya sendiri.

 

Seorang NPD yang religius bisa jatuh ke dalam jebakan ini. Ia memakai ayat dan hadis bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk memperkuat citranya. Ia mengutip agama bukan untuk berbuat baik, tapi agar terlihat benar. Ini bentuk kebohongan yang lebih dalam, karena memanipulasi simbol suci untuk tujuan diri. Dalam pandangan Islam, ini termasuk riyâ’—pamer ibadah. Dan riyâ’ termasuk syirik kecil. Nabi memperingatkan, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riyâ’.” (HR. Ahmad).

 

Maka ketika seseorang dengan kepribadian narsistik berbohong demi citra, sebenarnya ia sedang menyekutukan Tuhan dalam bentuk halus: menuhankan dirinya sendiri. Ia menjadikan pandangan manusia lebih penting daripada pandangan Allah.

 

—

Namun Islam juga agama kasih. Ia tidak hanya menghukum, tapi juga mengobati. Bagi orang yang terbiasa berbohong, termasuk mereka yang mengalami NPD, jalan kembalinya tetap terbuka. Taubat adalah ruang pemulihan moral dan spiritual. Dalam Surah Az-Zumar ayat 53, Allah berfirman: “Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”

 

Ayat ini menunjukkan bahwa bahkan kebohongan yang sudah menjadi kebiasaan masih bisa dihapus, asalkan ada kesadaran. Dalam istilah Cak Nur, manusia selalu memiliki “kemungkinan untuk berubah.” Ia menulis, “Dalam Islam tidak ada manusia yang selesai. Setiap manusia adalah proses.” Maka seorang narsistik pun tidak boleh dicap final. Ia bisa berubah bila berani menatap dirinya sendiri tanpa topeng.

 

Proses itu dimulai dengan satu hal: keberanian untuk jujur. Bukan hanya jujur kepada orang lain, tapi kepada diri sendiri. Mengakui bahwa selama ini ia takut, haus pujian, dan sering memanipulasi kenyataan. Kejujuran semacam ini adalah bentuk ibadah. Sebab ia mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai makhluk yang amanah.

 

—

Dalam Al-Qur’an, manusia disebut sebagai “hamilul amanah” artinya pembawa amanah. Amanah itu bukan hanya tanggung jawab sosial, tapi juga tanggung jawab untuk menjaga integritas diri. Ketika seseorang berbohong, ia mengkhianati amanah itu. Ia tidak setia pada kebenaran yang Allah titipkan dalam hatinya.

 

Cak Nur sering menekankan bahwa inti ajaran Islam adalah tawhid. Menyembah Allah berarti menolak penyembahan terhadap yang lain, termasuk terhadap ego. Narsisisme adalah bentuk pembelotan dari tauhid, karena menempatkan diri di pusat semesta. Ia menggantikan Tuhan dengan bayangan dirinya sendiri. Bohong menjadi alat untuk mempertahankan pusat itu. Maka melawan kebohongan berarti mengembalikan Tuhan ke tempat-Nya yang semestinya.

 

—

Dalam masyarakat, kebohongan sering dianggap hal kecil. Banyak yang berkata, “Ah, itu hanya bohong putih.” Tapi dalam pandangan moral Islam, setiap kebohongan menggerus kepercayaan. Sekali seseorang berbohong, kredibilitasnya retak. Dan retakan itu menyebar.

 

Bagi orang narsistik, kebohongan bukan lagi alat sesekali, tapi gaya hidup. Ia berbohong untuk mempertahankan citra, lalu berbohong lagi untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Akibatnya, ia hidup dalam kecemasan permanen. Hatinya tidak tenang. Karena kebenaran selalu mengintai dari balik tirai yang ia pasang sendiri.

 

Nabi pernah bersabda, “Kebenaran membawa ketenangan, dan kebohongan membawa kegelisahan.” (HR. Ahmad). Maka kebohongan, betapapun tampak berhasil di luar, selalu membawa hukuman batin di dalam. Orang yang terus berbohong akan kehilangan kedamaian, sebab ia tidak lagi tahu siapa dirinya.

 

—

Dalam pandangan Cak Nur, moralitas sejati tidak lahir dari rasa takut, tapi dari kesadaran. Artinya, manusia harus jujur bukan karena takut dosa, tapi karena cinta kepada kebenaran. Karena hanya dengan cinta pada kebenaran, manusia bisa merasakan kemerdekaan batin.

 

Bohong, sebaliknya, adalah bentuk perbudakan. Ia membuat manusia tergantung pada opini orang lain, pada sandiwara yang ia ciptakan sendiri. Sedangkan kejujuran memerdekakan. Ia membuat manusia berdiri di hadapan Tuhan dengan ringan. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.

 

Maka hukum berbohong bagi seorang dengan NPD bukan sekadar “haram” dalam arti fikih, tapi juga “merusak” dalam arti spiritual. Ia merusak hubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dan dengan sesama. Setiap kali ia berdusta, ia menambah jarak antara hatinya dan cahaya kebenaran.

 

—

Dalam perjalanan hidup, kita semua punya kecenderungan narsistik. Ada bagian dari diri yang ingin dipuji, dihargai, atau terlihat sempurna. Tapi perbedaan antara orang beriman dan orang yang sesat terletak pada kesadarannya terhadap hal itu. Orang beriman tahu bahwa dirinya lemah, dan ia tidak malu mengakuinya. Orang narsistik menolak mengakui kelemahannya, lalu menutupinya dengan kebohongan.

 

Padahal, dalam Al-Qur’an, Allah memuji orang yang berani mengakui kesalahan. “Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka segera mengingat Allah dan memohon ampunan atas dosa-dosa mereka.” (Ali Imran: 135). Kejujuran terhadap kesalahan adalah tanda iman yang hidup.

 

 

—

Cak Nur pernah menulis, “Agama bukan untuk menipu hati nurani, tapi untuk membersihkannya.” Dalam kalimat itu terkandung pesan sederhana tapi dalam: jujurlah, karena hanya kejujuran yang membuatmu manusia. Orang yang terus berbohong, meski tampak cerdas, kehilangan kemanusiaannya sedikit demi sedikit.

 

Bagi seorang NPD, kebohongan mungkin terasa seperti kebutuhan, tapi sesungguhnya itu penyakit yang menggerogoti jiwa. Satu-satunya obatnya adalah kejujuran yang menyakitkan. Mengakui kelemahan bukanlah kekalahan, tapi awal dari penyembuhan. Karena di hadapan Tuhan, yang dimuliakan bukan yang sempurna, tapi yang tulus.

 

—

Maka, hukum berbohong bagi seorang NPD—atau siapa pun jelas: ia dosa. Tapi lebih dari itu, ia juga penderitaan. Bohong adalah jalan menuju kehancuran spiritual. Sedangkan jujur, meski pahit, adalah jalan menuju kedamaian.

 

Seperti kata Nabi, “Katakanlah kebenaran, meski itu pahit.” Sebab hanya kebenaran yang bisa menyembuhkan jiwa yang tersesat dalam bayangan dirinya sendiri.

 

Dan barangkali, inilah yang paling dibutuhkan manusia modern hari ini: keberanian untuk berhenti berbohong, bahkan kepada diri sendiri. Karena tanpa kejujuran, kita tidak akan pernah menemukan Tuhan, dan tanpa Tuhan, kita tidak akan pernah menemukan diri kita yang sejati.

 

(Bersambung)

.

Previous Post

Narsisisme dalam Balutan Kharisma

Next Post

Hukum Berbohong bagi seorang NPD (Bagian 2)

Next Post

Hukum Berbohong bagi seorang NPD (Bagian 2)

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recent Posts

  • Pemimpin yang Haus Pujian: Bahaya Narsisisme dalam Kepemimpinan Publik
  • Pemimpin yang Tak Pernah Salah: Menyelami Kepribadian Narsistik di Balik Wajah Kekuasaan
  • Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Citra
  • Keluarga Tangguh di Era Digital: Menjaga Nilai, Menata Generasi
  • Hukum Berbohong bagi seorang NPD (Bagian 2)

Recent Comments

No comments to show.
RLI

© 2024 RLI

Navigate Site

  • Home Page
  • Sample Page
  • Tentang Kami

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • HOME
  • PROFIL
  • JURNAL
  • KEGIATAN
  • VIDEO

© 2024 RLI