Di suatu seminar, saya pernah bertemu seorang tokoh yang memesona. Cara ia bicara memukau, penampilannya rapi, dan kalimat-kalimatnya seolah menyihir. Peserta terpukau. Tapi ketika saya ajak bicara usai acara, ia bahkan tak menoleh penuh. “Saya hanya ngobrol dengan orang penting,” katanya. Sejenak saya sadar, kadang kharisma hanya jubah yang menutupi kehampaan batin.
Kharisma adalah anugerah. Tapi bila dipakai untuk membungkus narsisme, ia berubah menjadi alat manipulasi. Pemimpin narsistik sering tampil memikat. Ia tahu cara memukau publik, memilih kata yang tepat, dan membaca suasana. Tapi di balik pesonanya, ia haus pengakuan. Ia ingin dipuja, bukan dipercaya; ingin dikagumi, bukan dinasehati.
Ada hadis Rasulullah ﷺ yang indah, tapi juga menohok:
“Sesungguhnya orang yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah setiap munafik yang pandai bicara.” (HR. Ahmad)
Bicara indah belum tentu niatnya baik. Karisma bisa menyembunyikan kepribadian yang gersang dan penuh agenda diri.
Imam Hasan al-Bashri pernah mengingatkan: “Janganlah engkau tertipu oleh orang yang tampak rajin dan fasih bicara, tapi lihatlah sejauh mana ia menjaga amanah dan menahan syahwat kepemimpinan.” Dalam era visual ini, terlalu mudah bagi kita untuk terpukau oleh penampilan. Kita lupa bahwa kepemimpinan bukan soal gaya, tapi jiwa.
Pemimpin narsistik pandai bermain peran. Di depan publik, ia bisa sangat peduli dan merakyat. Tapi di ruang rapat, ia bersikap seperti raja yang tak bisa dibantah. Ia membangun jaringan loyalis, bukan karena kesamaan visi, tapi karena butuh orang-orang yang bisa memperkuat citranya.
Orang-orang seperti ini sering bicara soal perubahan besar, tapi perubahan itu hanya bersifat kosmetik. Mereka gemar mengganti logo, jargon, seragam, tetapi enggan mengubah sistem nilai yang salah. Karena bagi mereka, esensi perubahan adalah tampil beda dan bukan bekerja lebih baik apalagi berkualitas.
Al-Qur’an menegur orang-orang seperti ini dalam satu kalimat tajam:
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dia mempersaksikan Allah atas isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras.” (QS. Al-Baqarah: 204)
Kharisma bisa menipu. Tapi orang-orang beriman seharusnya tak tertipu oleh kemilau sesaat. Umar bin Khattab berkata: “Aku tidak menilai seseorang dari salat dan puasanya, tapi dari kejujurannya ketika bicara dan amanahnya saat diberi tanggung jawab.” Maka kita pun harus menilai pemimpin bukan dari poster, pidato, atau kontennya di media sosial.
Suatu hari seorang guru berkata pada muridnya, “Jangan tertipu oleh api unggun. Ia terang dan hangat, tapi juga bisa membakar.” Begitu pula pemimpin yang karismatik tapi narsistik. Ia bisa membakar semangat di awal, tapi meninggalkan abu di akhir. Yang tersisa hanya kecewa dan luka batin yang tak terlihat.
Banyak organisasi yang awalnya tumbuh karena kekaguman pada pemimpin, tapi runtuh karena tak ada kepercayaan yang dibangun. Pemimpin yang hanya memoles diri, lupa memoles sistem. Yang ia bangun hanya reputasi, bukan struktur. Maka ketika ia pergi, semua ikut roboh. Karisma itu fana, tapi nilai dan akhlak adalah warisan yang abadi.
Mari kita cari pemimpin yang bukan hanya karismatik, tapi juga jujur. Yang bukan hanya menarik, tapi juga amanah. Yang tak hanya bersinar di depan kamera, tapi juga takut pada Tuhan saat sendiri. Karena kepemimpinan sejati bukan soal memikat banyak orang, tapi soal menuntun dengan kejujuran dan kasih sayang.
Kita doakan: semoga Allah lindungi organisasi kita dari pemimpin yang menawan tapi menyesatkan. Semoga kita diberi pemimpin yang, seperti kata Ali bin Abi Thalib, “ketika dipuji tidak terbang, ketika dihina tidak tumbang.” Karena kharisma akan memudar, tapi kebijaksanaan akan tinggal selamanya.